Awal Corona Menyerang

Pandemi Corona yang melanda negeri ini menjadikan berbagai aktivitas kehidupan terkendala, terbatasi, bahkan tidak terlaksana. Termasuk aktivitas kampus, terpaksa harus belajar dari rumah yang semuanya via daring. Menghabiskan isi kantong untuk beli pulsa alias kuota yang harganya luar biasa.
Belum lagi materi kuliah yang kurang paham, kuliah tatap muka aja belum tentu paham, apalagi kalo kuliahnya kayak gini, jarak jauh alias daring, capek deh.
Berawal dari sebuah kabar burung bahwasannya perkuliahan akan diliburkan karena adanya berita virus Corona telah masuk di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dua orang yang diberitakan positif terjangkit virus Corona. Kebetulan waktu itu aku ada rapat koordinasi pengurus PW HILMI Sul-Sel dengan pengurus DPD HILMI tiap daerah.
Di tengah berlangsungnya rapat, kak Ramdhana membocorkan informasi bahwasannya kampusku, STIBA Makassar akan diliburkan. Aku yang mendengar hal itu sontak merasa gembira, ada perasaan senang yang merasuk ke hati. “Hore, mau libur”, begitulah kira-kira isi hati ini kala itu.
Menjelang waktu ashar rapat selesai, segera kutancap gas motorku pulang ke asrama kampus. Tiba di asrama, “kabar gembira” tadi langsung kusampaikan ke teman-teman satu kamar bahwasannya STIBA akan diliburkan. Tidak ada yang tidak gembira tatlala mendengar apa yang aku sampaikan.
Dan memang betul, malam ba’da shalat isya keluar surat edaran bahwasannya perkuliahan di kampus diliburkan dan semua mahasiswa dianjurkan untuk pulang ke kampung masing-masing. Semua melompat kegirangan, berteriak bahagia merayakan “kabar gembira” itu.
Sontak semua langsung packing mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa pulang esok hari termasuk diri ini yang tak kalah semangatnya.
Karena jatah libur yang diberikan cuman dua pekan, aku pikir itu waktu yang singkat untuk menghabiskan waktu di kampung bersama keluarga. Jadinya barang yang kubawa hanya sekedar barang yang aku rasa cukup untuk waktu dua pekan itu dan menyisakan masih banyak pakain di lemari.
Libur, pulang kampung, semua senang. Entah kenapa, semua terasa biasa-biasa saja tatkala keluar meninggalkan pagar STIBA, yang ternyata keluarnya kami dari pagar itu akan meninggalkan rindu yang tak terkira. Keluar dan tak diperkenankan masuk lagi, begitulah aturan lockdown yang diterapkan kampus di tengah pandemi yang melanda.
Suka Duka Kuliah Online

Dua pekan lewat, tiga pekan, satu bulan, dua bulan sampai berlalu tiga bulan, kabar untuk tetap belajar di rumah via daring terus diperpanjang. Ada rasa bosan, jenuh, dan kurang nyaman dengan sistem belajar ini. Belajar tanpa menatap muka langsung asatidzah/dosen sungguh sangat-sangat tidak efisien.
Selain banyak yang kurang dipahami, rasa malas pun sering muncul. Kuliah sambil bobo manis alias rebahan di tempat tidur jangan dibilang, atau sekedar isi daftar hadir kemudian lanjut tidur yang sangat tidak patut tuk dicontoh. “Ada tugas, ah entar aja”, aku banget tuh. Minum kopi ditemani snack atau kue sambil kuliah adalah andalanku, sungguh terlalu kuliah online ini.
Alhamdulillah untung saja jaringan di kampung lancar sehingga belajar pun jadi aman. Berbeda dengan sebagian teman-teman di daerah lain, kuota sih ada, cuman jaringan aja yang susah. Ada yang harus mendaki bukit, panjat pohon, menelusuri pelabuhan, keluar kota karena di kampung tak ada listrik dan berbagai macam perjuangan lainnya yang dilakukan teman-teman mahasiswa hanya sekedar untuk mendapatkan jaringan/sinyal.
Sungguh perjuangan yang mulia, rela bersusah-susah, berjuang, berdarah-darah demi mendapatkan ilmu. Dan memang begitulah seharusnya prinsip setiap penuntut ilmu, memiliki sifat mujahadah, semangat dan percaya diri, pantang mundur dalam menuntut ilmu terlebih ilmu agama.
Pembelajaran secara daring berlangsung sampai akhir semester, satu pekan sebelum ramadhan ikhtibar dilaksanakan, dan juga secara online. Luar biasa, baru kali ini ada ujian online plus tanpa pengawas (selain Allah Swt).
Lebih lucunya lagi ujian kali ini santai banget, bisa sambil makan, ngopi, bahkan sambil rebahan, wow. Sungguh sangat berbeda ketika ujian dilaksanakan secara offline atau tatap muka di kelas. Belajar atau merojaah penuh perjuangan, ada yang belajar dari pagi hingga pagi lagi, kurang banget tidurnya guys.
Aku sendiri biasa belajar (menghafal kali yaa) cuman pada malam hari dan rata-rata belajarnya sampai jam satu dini hari. Tidur sampai jam setengah 3, kemudian bangun lagi, lanjut belajar sampai menjelang subuh, tidur sedikit kemudian shalat subuh.
Selesai shalat, lanjut lagi belajarnya meskipun pelajaran udah susah masuknya sebab serangan kantuk yang menggebu-gebu. Nah, untuk mengusir rasa kantuk itu, kopi selalu setia menemani.
Ikhtibar atau ujian di kampus STIBA memang penuh perjuangan. Bagamana tidak? Hampir seratus persen soalnya berbahasa arab dan tidak ada kisi-kisi soal. Buku yang dipelajari pun tebalnya rata-rata setebal Al-Qur’an bahkan ada yang lebih, yang diujiankan kira-kira sepertiga/seperempat dari isi buku, luar biasa.
Nah, ini juga sih sebenarnya positifnya ujian online, belajar udah tidak terlalu dipaksakan lagi, soal-soalnya juga gampang, semua pilihan ganda, alhamdulillah. Aku yakin 95% mahasiswa STIBA tidak ada yang nyontek terlebih untuk semester-semester tiga keatas, karena memang mereka sudah digembleng dengan nilai-nilai kejujuran dan muraqabatullah (merasa selalu diawasi oleh Allah).
Untuk semester-semester awal aku masih kurang yakin kalo semuanya tidak ada yang nyontek. Ujian di kelas dengan pengawas aja masih ada yang berani nyontek, apalagi daring tak ada yang mengawasi (Selain yang Maha Melihat) mungkin lebih nekad lagi mereka. Masih terbawa kebiasaan buruk masa SMA kali ya. Tapi sangka baik aja, insyaaAllah mereka semua jujur kok.
Satu pekan berlalu, ujian akhirnya usai juga. Seperti ujian-ujian sebelumnya, semua mahasiswa pasti merasakan lega dan bahagia tak terkira tatkala ujian berakhir. Ingin rasanya terbang bebas ke angkasa laksana burung merayakan berakhirnya ikhtibar ini.
Kalau masa-masa sebelum pandemi mahasiswa banyak yang merayakan “kebahagiaannya” dengan ngumpul-ngumpul sambil makan bareng, rihlah alias jalan-jalan ke tempat wisata, nobar sambil bakar-bakar ikan dan kegiatan lain yang bisa merefreshkan pikiran kembali, tersebab pandemi yang melanda negeri, terpaksa “kebahagian” itu dirayakan di rumah masing-masing. Ditemani sepi dan secangkir kopi sedikit bisa mengobati jiwa yang dilanda rindu masa-masa kebersamaan itu.
Tamu Agung Datang Menyapa

Alhamdulillah, dua hari setelah ujian, tamu agung itu datang. Ramadhan telah tiba. Rasa bahagia kembali menyapa karena tahun ini bisa puasa bareng keluarga. Tahun-tahun sebelumnya, ramadhan lebih banyak kuhabiskan di Makassar, berkah corona tahun ini full bersama keluarga di kampung halaman.
Cuman kegiatan peribadatan di masjid saja yang tidak maksimal bahkan ditiadakan karena adanya pandemi ini. Kira-kira 12 hari lamanya, aku tetap datang melaksanakan shalat tarwih di masjid sekaligus menjadi imam secara bergiliran.
Sempat ada rencana untuk menyampaikan ceramah, dikarenakan Sinjai kala itu masih zona hijau, namun rencana itu tak terwujud karena tepat hari ke-13 Sinjai digemparkan dengan berita tujuh orang terpapar virus Corona. Hal itu memaksa pak kepala desa bertindak cepat mengumumkan di masjid bahwasannya shalat tarwih ditiadakan karena adanya berita duka tersebut.
Sejak pengumuman ditiadakannya shalat tarwih di masjid, sejak hari itu pula aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di masjid. Semua ibadah ramadhan dilakukan di rumah aja, buka puasa di rumah, ngaji di rumah, shalat 5 waktu di rumah, shalat tarwih di rumah, sampai shalat idul fitri pun tetap di rumah.
Sedih rasanya bulan yang mulia itu, tidak dihidupkan di tempat yang mulia, serasa hampa dan ada yang hilang dari ramadhan tahun ini. Hampir satu bulan lamanya seluruh kegiatan ibadah yang sifatnya jamaah aku lakukan di rumah, sampai ada surat edaran pemerintah bahwasannya shalat berjamaah di masjid telah diperbolehkan dengan syarat tetap memperhatikan protokol kesehatan. Alhamdulillah senangnya dalam hati kembali bisa merasakan nikmatnya bersujud di rumah Allah.
Tapi satu hal yang sangat disayangkan di kampungku, untuk waktu shalat zuhur, ashar dan subuh jamaah yang datang ke masjid sangatlah minim. Biasanya cuman diriku ditemani jamaah yang rumahnya berada di samping masjid, itupun kalo mereka sempat datang, aku malah lebih sering shalat sendiri di masjid. Aku yang azan, iqomah, imam, aku pula yang makmun, “hahaha… dasar jomblo luh”.
Untuk shalat magrib, alhamdulillah jumlah jamaah yang datang agak lumayan, tapi lagi-lagi sangat disayangkan hanya didominasi oleh kaum sepuh, pemuda entah kemana mereka kabur. Terlihat di urutan shaf-shaf hanya diisi sampai tiga orang anak muda sisanya orang tua.
Biasanya usai shalat magrib jamaah langsung pulang ke rumah, tersisa diriku dan satu anak muda yang selalu setia menunggui waktu shalat isya, namanya kak Jefri. Beliau merupakan sarjana hukum lulusan UIN Alauiddin Makassar tahun ini, bersamanya kami sering diskusi ringan dan bertukar pikiran sampai masuk waktu shalat isya.
Berkah KOPI

Untuk mengisi waktu kosong dan rasa jenuh di rumah, kucoba-coba berkreasi dengan berkebun dan beternak lele. Alhamdulillah bekas kandang sapi di belakang rumah berhasil kusulap menjadi kebun yang mungil dengan desain unik agar mata sejuk memandang.
Untuk bagian pinggir atau di sekeliling kebun kutanami kangkung, dan di tengah kutanami mentimun dan kacang panjang. Kurang lebih tiga pekan lamanya hasil jerih payah di kebun udah bisa dinikmati. Kolam di samping rumah yang tak terpakai itu aku manfaatkan untuk beternak ikan lele disitu. Lumayan ada 25 ekor bibit ikan lele yang aku beli dari kota, yang sekarang udah gede gede.
Waktu terus berputar, tapi kondisi dan keadaan seakan tak ada yang berubah. Semua orang tetap sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, banyak anak muda wa bil khusus mahasiswa yang balik kampung, tapi predikatnya sebagai agent of change tak nampak sama sekali di tengah masyarakat.
Palingan cuman sibuk dengan urusan pribadi masing-masing, masalah gabut dan kurang kerjaan jangan ditanya, untuk mengisi waktu kosong agar tak membosankan biasanya cuman nge-games, nonton, tidur, makan, lalu lanjut tidur lagi.
Anak-anak sekolah pun demikian, bahkan lebih parah. Imbauan pemerintah untuk belajar di rumah malah diplesetkan dengan kegiatan yang sia-sia dan kurang bermanfaat. Kondisi yang memprihatinkan itu membuatku termenung, apa yang mesti kuperbuat agar hal ini tidak terus-terusan terjadi.
Hingga akhirnya ide itu mucul dan menjadi awal perjuangan dalam pengabdian. Bersama teman-teman pemuda Lasiai, kami berhasil membentuk komunitas dengan panggilan keren “KOPI” atau Komunitas Pemuda Lasiai.
Berkah KOPI akhirnya ada tempat kami berkumpul dan menghilangkan kebosanan di rumah bersama teman-teman pemuda. Dengan adanya KOPI akhirnya ada tempat kami saling belajar dan berbagi pengalaman serta wadah bagi pemuda Lasiai menuangkan bakat dan minat mereka.
Bahkan kabar gembiranya lagi, pemerintah Desa Lasiai menyambut baik komunitas ini dan mengakui secara resmi melalui pelantikan pengurus. Masih teringat pernyataan pak kepala desa:
“Ingat, kalian itu kuliah dari kampung dan ujung-ujungnya akan kembali juga ke kampung. Jangan menjadi mahasiswa yang kelak hanya menjadi SPK (Sarjana Pulang Kampung), yang dimana gelarnya tidak ada manfaatnya sama sekali di tengah-tengah masyarakat”.
Kalimat itu seakan singgungan halus sekaligus pendorong bagi kami untuk semakin semangat dalam berbuat di tengah masyarakat.
Setelah dilantik secara resmi, KOPI tampil dengan berbagai persembahannya. Kegiatan untuk kalangan anak-anak, pemuda dan tak ketinggalan kalangan dewasa sudah diprogramkan masing-masing.
Ada program Rumah Qur’ani, Aset (Ahad Sehat), Festival Anak Soleh (FAS), Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), Kajian Khusus Pengurus (KASUS), Belajar Bareng (BERANG), Motivasi Pelajar, Belajar DIROSAH, Diskusi Publik dan masih banyak kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya yang menambah wawasan dan pengalaman.
Saking banyaknya kegiatan KOPI, sampai ada yang mengatakan, “ini kok kayak KKN (Kuliah Kerja Nyata) ya….”. Maka kami katakan, “iya. Memang KKN, Komunitas Kerja Nyata”.
Rindu Kampus Tercinta

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kesibukan di KOPI menjadikan aku lupa bahwa ternyata udah masuk kuliah. Dan lagi-lagi kuliahnya masih tetap online. Padahal dulu harapannya udah kembali ke kampus dan belajar normal di kelas. Tapi karena pandemi yang belum berakhir, tetap harus bersabar menerima kenyataan ini.
Rindu ini begitu membuncah dengan suasana kampus. Rindu suara bising masjid Anas bin Malik yang diisi dengan merojaah, hafalan, tilawah merdu ikhwah. Rindu berkumpul bermajelis di antara taman-taman surga, menyimak nasihat emas dari asatidzah serta melihat wajah-wajah syahdu dan tawadhu mereka.
Rindu dengan suasana kehidupan asrama. Rindu suasana rapat kamar tatkala kita saling menguatkan, memotivasi untuk bertahan di atas jalan tolabul ‘ilmi. Rindu hirosah (jaga malam), dibangunkan tengah malam padahal masih ngantuk berat abis merojaah sampai jam 12. Yah untung aja ada qohwah, minum dulu sebelum terjun ke pos pertahanan, eh maksudnya pos jaga.
Rindu makan bareng ikhwah hasil pembagian catering. Meskipun menunya sederhana, tapi tetap saja terasa nikmat kala disantap bersama-sama. Rindu amal jama’i (kerja bakti) tiap hari sabtu pagi, yang i’lannya bukan main lamanya. Pas selesai i’lan baru pada bertanya, mana tempat amal jamai’nya. Tau kenapa? Yah karena tidur pas dibacakan.
Dan masih banyak lagi momen-momen yang dirindukan di kampus tercinta, kampus STIBA Makassar, tak bisa kusebutkan satu-persatu . Aku hanya bisa berharap dan berdoa kepada Sang Ilahi agar kiranya pandemi ini bisa diangkat sehingga kami bisa merasakan kembali momen-momen yang dirindukan itu.
Untuk saat ini kita hanya bisa bersabar ibarat sabarnya seorang gadis, yang tetap setia dan bersabar menunggu sampai kabar bahagia itu datang, eahh.
Ini ceritaku, mana ceritamu?