Psikologi Sastra – Perkembangan kajian sastra yang bersifat interdisipliner telah mempertemukan ilmu sastra dengan berbagai ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, gender, dan sejarah.
Pertemuan tersebut telah melahirkan berbagai macam pendekatan dalam kajian sastra, antara lain psikologi sastra, sosiologi sastra, antropologi sastra, kritik sastra feminis, dan new hystoricism.
Di samping itu, juga melahirkan berbagai kerangka teori yang dikembangkan dari hubungan antara sastra dengan berbagai disiplin tersebut, seperti psikoanalisis/psikologi sastra, psikologi pengarang, psikologi pembaca, sosiologi pengarang, sosiologi pembaca, sosiologi karya sastra, juga strukturalisme genetik, sosiologi sastra marxisme.
Psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi.
Hubungan antara Psikologi dan Sastra
Sebelum menguraikan apa itu psikologi sastra, perlu dipahami terlebih dahulu hubungan antara psikologi dan sastra, juga di bagian mana kedua disiplin ilmu itu akan bertemu, sehingga melahirkan pedekatan atau tipe kritik sastra yang disebut psikologi sastra.
Pengertian Psikologi
Dalam Pengantar Psikologi Umum, Walgito (2004:10) mengemukakan bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas yang dipandang sebagai manifestasi dari kehidupan psikis manusia. Dalam psikologi, perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme itu.
Dalam psikologi perilaku manusia dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku yang refleksif dan nonrefleksif. Perilaku yang refleksif terjadi secara spontan, misalnya kedipan mata bila kena sinar, gerak lutut jika kena sentuhan palu, menarik jari jika terkena api, dan sebagainya. Perilaku refleksif terjadi dengan sendirinya. Dalam hal ini stimulus yang diterima oleh individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau otak, sebagai pusat kesadaran atau pusat pengendalian perilaku manusia.
Kondisinya berbeda dengan perilaku nonrefleksif yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kedasaran atau otak. Setelah stimulus diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, baru kemudian terjadi respon yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau perilaku psikologis (Branca, via Walgito, 2004:12-13).
Subjenis Psikologi
Psikologi khusus meneliti dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas-aktivitas psikis manusia. Sesuai dengan kekhususan kajiannya, dalam psikologi khusus selanjutnya dibedakan beberapa subjenis, yaitu:
1. Psikologi perkembangan, yang membicarakan perkembangan psikis manusia dari masa bayi sampai tua, yang mencakup
a) psikologi anak (mencakup masa bayi),
b) psikologi remaja,
c) psikologi orang dewasa,
d) psikologi orang tua.
2. Psikologi sosial, yang membicarakan perilaku atau aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi sosial,
3. Psikologi pendidikan, yang khusus menguraikan kegiatan-kegiatan dan aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan, misalnya bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran dapat dengan mudah diterima, bagaimana cara belajar, dan sebagainya.
4. Psikologi kepribadian, yang secara khusus menguraikan tentang pribadi manusia, beserta tipe-tipe kepribadian manusia.
5. Psikopatologi, yang secara khusus menguraikan keadaan psikis yang tidak normal (abnormal).
6. Psikologi kriminal, yang secara khusus berhubungan dengan soal kejahatan atau kriminalitas.
7. Psikologi perusahaan, yang berhubungan dengan persoalan perusahaan.
Jenis-jenis Psikologi
Di samping dibedakan berdasarkan ruang lingkup, berdasarkan teori yang digunakannya juga dikenal berbagai jenis psikologi, yaitu psikologi fungsional, psikologi behaviorisme, psikologi gestalt, psikoanalisis, psikologi humanistik, dan psikologi kognitif.
Psikologi fungsional dikembangkan oleh William James dari Amerika. Psikologi fungsional memandang psikis (mind) sebagai fungsi atau digunakan oleh organisme untuk menyesuaikan atau adaptasi dengan lingkungannya (Walgito, 2004: 64-82)
Sastra
Secara sederhana kata sastra mengacu kepada dua pengertian, yaitu sebagai karya sastra dan sebagai ilmu sastra, yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan. Ketika digunakan dalam kerangka karya sastra, sastra merupakan hasil karya seni yang diciptakan pengarang atau pun kelompok masyarakat tertentu bermediakan bahasa. Sebagai karya seni yang bermediakan bahasa, karya sastra dipandang sebagai karya imajinatif.
Istilah ‘sastra imajinatif’ (imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (‘tulisan yang indah dan sopan’, berasal dari bahasa Prancis), kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra (Wellek & Warren, 1990). Definisi ini mengarahkan kita untuk memahami sastra dengan terlebih dahulu melihat aspek bahasa: bahasa yang bagaimanakah yang khas sastra itu?
Ciri-ciri Sastra
Perlu dilakukan perbandingan beberapa ragam bahasa: bahasa sastra, bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari untuk membedakannya. Sebagaimana dikutip oleh Luxemburg dkk. (1989), mengemukakan beberapa ciri sastra.
- Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya.
- Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra, khususnya puisi, terungkapkan napsu-napsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam. Dalam istilah penyair Wordsworth Poetry is the spontaneous overflow or powerfull feelings.
- Ketiga, sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sastrawan hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalam pengertian ini, apa yang pernah diucapkan Sartre pada tahun 1948, seorang filsuf Prancis, bahwa kata-kata dalam puisi tidak merupakan “tanda-tanda”, melainkan “benda-benda” (mots-choses) menemukan relevansi pemahamannya.
- Keempat, otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi ini pertama-tama mengacu pada keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal-balik antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya.
- Kelima, sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu aneka rupa bentuknya. Ada pertentangan antara yang disadari dan tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya.
- Keenam, sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang kita temukan.
Faktor-faktor Suatu Karya Disebut Sastra
Berdasarkan pandangannya itu, Luxemburg dkk. lebih suka untuk menyebut sejumlah faktor yang dapat dikatakan menjadi ciri-ciri sastra.
- Pertama, bahwa sastra ialah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Sastra dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
- Kedua, dengan mengacu pada sastra Barat, khususnya teks drama dan cerita, teks sastra diciri dengan adanya unsur fiksionalitas di dalamnya.
- Ketiga, bahan sastra diolah secara istimewa. Ada yang menekankan ekuivalensi, ada yang menekankan penyimpangan dari tradisi bahasa atau tata bahasa. Akan tetapi, yang lebih sering adalah penekanan pada penggunaan unsur ambiguitas (suatu kata yang mengandung pengertian lebih dari satu arti).
- Keempat, sebuah karya sastra dapat kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Sejauh mana tahap-tahap arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra.
Berangkat dari berbagi persoalan yang berkaitan dengan pendefinisian sastra yang bermacam-macam, pada kalangan akademik sastra sering kali juga didefinisikan sesuai dengan kerangka teori yang mendasarinya.
Definisi Sastra Berdasarkan Berbagai Teori
Berdasarkan teori objektif, sastra didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif, karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu, berdasarkan teori pragmatik, karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca (Abrams, 1981).
Ketika digunakan dalam kerangka ilmu sastra, maka sastra mengacu pada salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji karya sastra sebagai objek formalnya secara bersistem dan terorganisir. Dalam kajian sastra yang menggunakan pendekatan psikologi sastra inilah hubungan antara sastra dan psikologi terjadi.
Konsep Umum Psikologi sastra
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara, 2008: 16). Memperlajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusi dasi sisi dalam. Mungkin aspek ‘dalam’ ini yang acap kali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat.
Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahmi sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Endraswara, 2008: 14). Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakli jiwa orang lain.
Langkah Memahami Psikologi Sastra
Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman itu sering pula dialami oleh orang lain.
Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisi terhadapa suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitiam, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara stimultan menemukan teori dalam objek penelitian (Endraswara, 2008: 89).
Selanjutnya, memperhatikan bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra ternyata dapat mencermingkan ssuatu konsep dari psikologi yang disusun oleh tokoh fiksional.
Tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan sastrawan yang sering malampaui batas kewajaran mungkin bisa dideteksi lewat psikologi sastra. Itulah sebabnya munculnya psikolgi sastra perlu mendapat sambutan. Setidaknya sisi lain dari sastra akan terpahami secara proporsinal dengan penelitian psikologi sastra .
Apakah sastra merupakan sebuah lamunan, impian, dorongan se*s dan seterusnya dapat dipahami lewat ilmu ini (Enraswara, 2008: 7)
Hubungan Kepribadian dengan Karya Sastra
Sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat beberapa ungsur yang perlu diketahui;
- Pertama, kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kualitas nalar, kehidupan, dan liugkungan si pengarang.
- Kedua, kita perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya; caranya, kita amati biografi pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupannya dan amenggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan.
- Ketiga, kita perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut (Abrams, 1979: 227).
Terhadap tipe ini pengamatan tertuju pada nilai-nilai estetika dan apresiasi sambil mengedepankan kualitas estetika sebagai proyeksi kualitas personal dengan mengamati karya tersebut sebagai media transparan untuk mendapatkan jiwa si pengarang di dalamnya.
Sastra Sebagai Cerminan Kepribadian
Shakespeare is above all writers, at least above all modrn writers, the poet of nature, the poet that holds up to this reader a faithful mirror of manners and of life
Samuel Jognson
[Shakespeare’s] works are so many windows, throught which we see a glimpse of world that was in him.
Thomas Carlyle
To know a work literature is to know the soul of the man who created it, and who created it in order that his soul should be known.
Middleton Murry
Dari ketiga cuplikan di atas yang dikutip dari buku The Mirror and Lamp – Romantic Theory and the Critical Traditional, karya M.H. Abrams, tampak bahwa karya-karya sastra – terutama karya dari William Shakespeare yang amat terkenal itu – merupakan cerminan perilaku manusia, jendela di mana kita dapat memahami dunia dan kepribadian si pengarang yang memang perlu dipahami (Abrams, 1979: 226).
Carley pada tahun 1827 menulis kritik sastra tentang ketertarikan antara seorang penyair dengan yang puisinya mencermingkan tingkah laku yang berhubungan secara psikologis. Sejak dulu kala telah dikenal bahwa karya-karya sastra banyak terkait dengan masalah biografi pengarang; belakangan ternyata karya sastra merupakan ekspresi impuls sek*ual yang terpendam dari si pnecipta. Ungkapan karya sastra yang menggambarkan atau sebagai orientasi estetika karakteristik banyak diterbitkan pada awal abat ke-19.
Pentingnya Psikologi Sastra
Untuk mengkaji karakter tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah novel atau drama, misalnya seorang peneliti atau kritikus sastra perlu menguasai berbagai konsep psikologi, terutama yang berhubungan dengan watak dan kondisi kejiwaan tokoh.
Analisis psikologi terhadap karya sastra, terutama fiksi dan drama tampaknya memang tidak terlalu berlebihan karena baik sastra maupun psikologi sama-sama membicarakan manusia. Bedanya, sastra membicarakan manusia yang diciptakan (manusia imajiner) oleh pengarang, sedangkan psikologi membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di alam nyata.
Meskipun sifat-sifat manusia dalam karya sastra bersifat imajiner, tetapi di dalam menggambarkan karakter dan jiwanya pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya. Lebih-lebih salah satu tuntutan karakter tokoh adalah adanya dimensi psikologis tokoh, di samping dimensi sosial dan fisik. Dengan demikian dalam menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia.
Pemikiran Psikologi Pengarang Dalam Karya Sastra
Karya sastra kadang menyajikan situasi-situasi yang terkadang tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis, dan bahkan upaya mendramatisasi cukup dominan kehadirannya. Pada kasus-kasus tertentu memang pemikiran psikologi menambah keartistikan karena menunjang koherensi dan kompleksitas karya, tetapi pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan psikologi saja.
Pemahaman terhadap proses kreatif karya tertentu dari seorang pengarang juga dapat dilakukan melalui keadaan jiwa pengarang. Konsep keadaan jiwa sebagai sumber puisi yang baik telah diperkenalkan oleh penyair Romantik Inggris, Wordsworth (via Hardjana, 1984:62) yang mengatakan bahwa penyair adalah manusia yang bicara pada manusia lain.
Contoh puisi berikut mungkin dapat menjelaskan hubungan antara penciptaan puisi dengan keadaan jiwa penyair.
Chairil Anwar
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Dengan menggunakan perspektif psikologi sastra, maka kondisi kejiwaan Chairil Anwar ketika menuliskan puisi tersebut sedang berada dalam keadaan yang memaksanya untuk mengakui kebesaran Tuhan, yang menyadarkannya untuk kembali dan mengadukan derita dan kegalauan jiwanya setelah merasa lelah mengembara ke berbagai daerah yang asing secara fisik maupun pikiran.
Contoh lain tentang hubungan antara keadaan jiwa penyair dengan puisi yang diciptakannya tampak pada puisi Rendra berikut ini yang mengekspresikan kerinduannya kepada orang yang dicintainya, sebuah kerinduan yang telah menyiksa jiwanya.
W.S. Rendra
KANGEN
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
(diambil dari Empat Kumpulan Sajak, 2003)
Kangen (bahasa Jawa), dalam bahasa Indonesia berarti rindu. Perasaan kangen secara psikologis akan diikuti dengan perasaan kesepian yang menyakitkan dan menyiksa si aku. Itulah yang digambarkan dalam puisi tersebut.
Latar Belakang Muncul dan Berkembangnya Psikologi Sastra
Latar belakang munculnya pendekatan psikologi sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris, terutama The Interpretation of Dreaming (Penafsiran Mimpi) dan Three Contributions to a Theory of Sex (Tiga Karangan tentang Teori Seksualitas) dalam dekade menjelang perang dunia (Hardjana, 1984:59).
Pendekatan psikologi sastra antara lain dirintis oleh I.A. Richards, melalui bukunya yang berjudul Principles of Literary Criticism (1924). Dalam buku tersebut Richards mencoba menghubungkan kritik sastra dengan uraian psikologi sistematik. Dijelaskan olehnya pengertian hakikat pengalaman sastra yang terpadu, sebagaimana diajarkan oleh psikologi Gestaltt dan pembaharuan bahasa kiritik sastra. Menurutnya, bahasa kritik sastra mendukung pandangan bahwa karya sastra sebagai suatu objek estetik tidak mempunyai pengaruh, sebab karya sastra tidak lain adalah sebuah pengalaman pribadi pembacanya (Hardjana, 1984: 60).
Richards menentang idialisme estetik atau pendirian “seni untuk seni” dengan mementingkan daya komunikasi karya seni. Menurutnya, seni berarti hanyalah seni yang mampu berkomunikasi. Dalam hal ini nilai karya seni terletak pada kemampuannya menjalin sikap-sikap yang saling bertentangan secara efisien. Oleh pandangannya tersebut, Richards disebut sebagai bapak poetika ketegangan oleh Wimsatt dan Brooks. Dalam hal ini karya seni (termasuk sastra) haruslah mendamaikan pertentangan atau nilai-nilai yang saling berlawanan, seperti baik buruk, jahat berbudi, dan sebagainya.
Seni Sastra hanya Dapat Didefinisikan Oleh Latar Belakang Psikologi Pengarangnya
Dalam konteks sastra Indonesia apa yang dikemukakan oleh Wordsworth dapat ditemukan dalam puisi-puisi Chairil Anwar dan W.S. Rendra seperti telah dicontohkan sebelumnya. Freud, sebagai seorang psikoanalis yang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap karya sastra juga menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan diri penyairnya (Hardjana, 1984:63).
Menurut Freud kreativitas seorang pengarang tidak lain adalah sebuah pelarian. Pendapat tersebut tampak pada kutipan berikut (Hardjana, 1984:63). Seniman pada mulanya adalah seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubungan adanya tuntutan akan kepuasankepuasan nalurinya yang tidak terpenuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.
Dalam konteks sastra Indonesia misalnya dapat ditemukan dalam puisi-puisi religius karya Amir Hamzah (“Padamu Jua”), Abdul Hadi W.M. (kumpulan puisi Meditasi), dan Emha Ainun Nadjib (99 untuk Tuhanku).
Amir Hamzah
PADAMU JUA
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku.
Diksi seperti kekasih, pelita, kandil kemerlap di malam sunyi, kerinduan yang mengarah pada kerinduan spiritual seorang makhluk kepada Tuhannya merupakan salah satu contoh citra keinsanan purba (archetypal images).
Wilayah Psikologi Sastra
Wellek dan Warren (1990), mengemukakan bahwa psikokogi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu:
- Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.
- Studi proses kreatif.
- Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
- Mempelajari dampak sastra pada pembaca.
Menurut Wellek dan Warren (1990), pengertian pertama dan kedua merupakan bagian dari psikologi seni, dengan fokus pada pengarang dan proses kreatifnya. Pengertian ketiga terfokus pada karya sastra yang dikaji dengan hukum-hukum psikologi. Pengertian keempat terfokus pada pembaca yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiawaan.
Rangkuman
Psikologi sastra merupakan salah satu kajian sastra yang bersifat interdisipliner, karena memahami dan mengkaji sastra dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yanga ada dalam psikologi.
Psikokogi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan mempelajari dampak sastra pada pembaca.