Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam tragedi G30S yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.
Peristiwa G30S/PKI
Pada hari Kamis, malam Jumat, tanggal 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai melakukan aksi pemberontakan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung dan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) dan Brigadir Jendral Soepeno. Aksi tersebut menamakan dirinya Gerakan 30 September (G 30 S). Para pemberontak itu menculik para perwira tinggi ABRI yang disebut Dewan Jendral.
Para petinggi ABRI itu disiksa dan dibunuh secara keji dan tidak berperikemanusiaan. Setelah disiksa kemudian dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua yang dalamnya sekitar 12 meter, di Lubang Buaya, dekat Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta
Para perwira yang gugur pada saat itu adalah:
- Jendral TNI (Anumerta) Ahmad Yani
- Letnan Jendral TNI (Anumerta) S. Parman
- Letnan Jendral TNI (Anumerta) S. Suprapto
- Letnan Jendral TNI (Anumerta) M. T. Haryono
- Mayor Jendral TNI (Anumerta) D.I. Panjaitan
- Mayor Jendral TNI (Anumarta) Sutoyo Siswomiharjo
- Kapten TNI (Anumerta) Piere Andrias Tendean
Peristiwa pemberontakan ini juga terjadi di Yogyakarta, dan mengakibatkan gugurnya;
- Brigadir Jendral TNI (Anumerta) Katamso Dharmjusumo
- Kolonel TNI (Anumerta) Sugiyono Mangunwuyoto
- AIP Tk. II Polisi (Anumerta) Karel Satsuit Tubun (pengawal rumah DR. J. Leimena)
Pada peristiwa tersebut, PKI juga ingin membunuh Jendral A.H. Nasution, yang menjadi Menjadi Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staff Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tetapi tidak berhasil karena A.H. Nasution dapat meloloskan diri. Namun, pada peristiwa itu A. H. Nasution kehilangan putri tercintanya, yaitu Ade Irma Suryani Nasution yang tewas ditembak PKI.
Untuk menghormati para pahlawan yang telah gugur, maka pemerintah menganugerahi gelar ‘Pahlawan Revolusi’ kepada para pahlawan itu.
Pahlawan Revolusi
Berikut biografi singkat kesepuluh Pahlawan Revolusi tersebut.
1. Jenderal Ahmad Yani
- Lahir: Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922
- meninggal: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Jenderal dari Purworejo
Ia ikut ambil bagian dalam mengusir pasukan Sekutu dari Magelang yang berhasil didesak ke Ambarawa hingga Semarang. Ia membentuk pasukan Banteng Raiders dengan latihan-latihan khusus, waktu ditugaskan menghancurkan gerombolan DI/TII Jawa Tengah.
Salah satu keahlian yang diperolehnya dari pendidikan pada Command and General Staf College di Fort Leavenworth (Amerika Serikat) adalah mengenai operasi gabungan. Keahlian ini dipraktikannya untuk pertama kali dalam menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra Barat.
Operasi yang dikenal dengan nama Operasi 17 Agustus ini dipersiapkan dalam waktu singkat, matang, dan berhasil dengan baik. Setelah itu, ia memegang jabatan jabatan penting dalam Angkatan Darat, termasuk menjadi KSAD pada 1962.
Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani mengawali pendidikan formal di HIS Bogor yang diselesaikannya pada 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO kelas B dan tamat pada 1938. Selanjutnya, ia masuk AMS bagian B di Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Setelah tahun 1942, di masa Jepang, ia mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air [PETA] di Bogor.
Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah itu.
Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII. Ia berhasil dengan baik. Setelahnya, ia menjadi Staf Angkatan Darat.
Pada 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatra Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan
Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Situasi memanas di tahun 1965. Pada 1 Oktober terjadi aksi klandestin Gerakan 30 September. Sebuah kekisruhan di tubuh Angkatan Darat membawa akibat fatal. Sekelompok tentara gelap mendatangi rumah Achmad Yani, memaksa masuk dan menembak mati Yani di depan kamar tidurnya.
Jenazahnya kemudian dibawa ke Lubang Buaya Jakarta Timur. Jenazahnya segera dicari dan kemudian dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Revolusi kepada Achmad Yani yang ditetapkan tepat di hari peringatan angkatan bersenjata RI pada 1965.
2. Letnan Jenderal Suprapto
- Lahir: Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920
- meninggal: Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Jenderal Korban G30S
Menjelang Oktober 1965, situasi telah panas. Angkara Darat didera isu yang serius akibat munculnya isu adanya dewan jenderal yang tidak jelas. Yang diakui oleh para perwira tinggi AD di Jakarta adalah dewan Wanjakti (Dewan Kebijaksanaan Tertinggi), sebuah dewan yang bertugas menilai kenaikan pangkat perwira tinggi AD.
Salah satu anggota dewan ini memang Jenderal Suprapto. Akan tetapi, isu dewan militer yang akan kudeta membuat segalanya berakhir tragis. Suprapto diculik dari rumahnya dan dibunuh di Lubang Buaya pada pagi buta Oktober 1965.
Suprapto yang berasal dari Purwokerto semasa muda menempuh pendidikan formal di MULO dan AMS Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada 1941. Setelahnya, ia memulai pendidikan militernya. Ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang telah datang di Hindia Belanda pada 1942. Oleh tentara Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan (barisan pembantu polisi), seinendan (barisan pemuda), dan syuisyintai (barisan pelopor]).
Setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Saat revolusi kemerdekaan berkecamuk dimana-mana, ia terlibat pelucutan senjata pasukan Jepang di Cilacap. Ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara Indonesia.
Selama bergabung dengan TKR, ia ikut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Soedirman. Ia menjadi salah satu ajudan Panglima Besar.
Selepas Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan.
Setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Saat itu pangkat Suprapto adalah Mayor Jenderal dan akibat aksi klandestin sekelompok tentara yang menyebut diri G30S pada 1 Oktober 1965. Atau pada masa itu disebut dengan Gestok, Suprapto harus mengakhiri kiprah dan pengabdiannya di Angkatan Darat untuk selamanya.
Perwira senior ini terbunuh di Lubang Buaya dalam usia 45 tahun. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dalam upacara militer. Pemerintah segera menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi letnan jenderal dan empat hari selepas kematiannya, ia diangkat menjadi Pahlawan Revolusi.
3. Letnan Jenderal Haryono
- Lahir: Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924
- meninggal: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Jenderal Pemikir
Ia seorang perwira cerdas, menguasai 3 bahasa asing Belanda, Inggris serta Jerman. Karena kemampuan itu pula, ia pernah dilibatkan dalam perundingan KMB di Den Haag, sebagai sekretaris delegasi militer Indonesia. Perwira ini memang jarang mendapat tugas lapangan, bertempur bersama pasukan. Ia lebih banyak berada dalam lingkungan staf AD.
Walaupun begitu, bukan berarti ia tidak punya nyali. Di waktu terakhirnya, saat para penculik datang menyambangi rumahnya, ia sempat melawan. Dengan berani ia berusaha merebut senjata dari tangan “tentara hitam” meski gagal. Ia yang sendirian melawan gerombolan tentara yang lebih muda darinya akhirnya harus bertaruh nyawa. Ia tertembak beberapa kali dan meninggal saat itu juga di rumahnya.
Perwira ini bernama lengkap Mas Tirtodarmo Haryono. Ia keturunan seorang yang terpandang di kota Surabaya karena sanggup menempuh pendidikan di ELS hingga HBS. Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki Ika Dai Gaku (Sekolah Kedokteran) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia berada di Jakarta dan segera menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Lalu, ia memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memperoleh pangkat mayor.
Pada Maret 1946, karena kemampuan dalam penguasaan bahasa asing dan juga pendidikannya yang cukup tinggi, ia diangkat menjadi sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata dan sering disertakan dalam perundingan-perundingan dengan Belanda dan juga Inggris.
Ia kemudian menjadi perwira Angkatan Darat yang lebih banyak bekerja di lingkungan staf daripada sebagai komandan pasukan. Pada akhir 1947, ia menjadi kepala kantor urusan pekerjaan Istimewa di Markas Umum Angkatan Darat.
Menjelang Agresi militer Belanda kedua, tepatnya pada akhir Desember 1948, ia memikul tanggung jawab sebagai kepala Bagian pendidikan Angkatan Perang merangkap juru bicara Staf Angkatan Perang. Hingga puncaknya pada KMB, ia menjabat sebagai sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Pada 1950, ia bertugas di Negeri Belanda sebagai Atase Militer RI. Ia kemudian mendapat pangkat letnan kolonel pada 1951, dan tiga tahun kemudian ia telah kembali ke tanah air. Ia lalu diserahi bermacam-macam tugas dan jabatan di lingkungan Staf Angkatan Darat, antara lain Direktur Intendans.
Pada 1957, ia mengikuti pendidikan sekolah staf dan komando AD di Bandung. Setahun berikutnya ia telah menjadi direktur Corps Intendans Angkatan Darat. Saat itu pangkatnya telah menjadi kolonel. Pada 1964 ia diangkat sebagai Deputy III Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat mayor jenderal.
Saat situasi memanas di Ibu Kota menjelang Oktober 1965, ia menjadi salah satu perwira senior yang menolak rencana pembentukan Angkatan kelima. Di masa-masa ini pula ia dikaitkan dengan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Isu ini belum pernah terbukti, tetapi sayangnya Haryono menjadi korban kekisruhan politik maupun dalam tubuh Angkatan Darat.
Haryono adalah seorang perwira yang tidak menyukai Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan beberapa perwira lain, ia menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Oleh karena itu, ia dimusuhi PKI.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI mulai melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September”. Mayor Jenderal M.T. Haryono mereka culik. Ia mengadakan perlawanan, tetapi tertembak.
Mayatnya disembunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah segera menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi letnan jenderal dan diberi gelar Pahlawan Revolusi, empat hari selepas ia terbunuh di rumahnya.
4. Letnan Jenderal Siswondo Parman
- Lahir: Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918
- meninggal: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Perwira Intelijen yang gugur di Lubang Buaya
Ia seorang tentara intelijen yang mumpuni. Ia juga seorang pemikir dan penyusun organisasi militer yang handal. Ia pernah dijuluki “penasihat Agung”. Kemampuan dalam intelijen membuatnya mampu membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Westerling yang akan membunuhi tokoh-tokoh militer Indonesia pada 1950.
Ia segera memimpin pasukan menuju hotel des Indes dan menangkap tokoh tokoh gerakan, meski Westerling melarikan diri. Sebagai perwira AD, ia menentang keras pembentukan angkatan kelima pada 1965, lalu masuk daftar hitam komplotan G 30 5 karena tuduhan dewan Jenderal. Akibatnya ia disingkirkan dalam gerakan brutal di lubang buaya.
Siswondo Parman menghabiskan masa kecilnya di Wonosobo. Awalnya selepas dewasa, ia masuk sekolah kedokteran di GHS (Geneeskundige Hogeschool) Batavia. Akan tetapi, sekolah kedokterannya harus terhenti saat Jepang masuk pada 1942.
Sebagai pemuda, ia kemudian tertarik dengan dunia militer dan akhirnya terpilih mengikuti pendidikan Kenpei Kasya Butai di Negeri Jepang, sebuah pendidikan khusus intelijen.
Selepas kembali ke tanah air, ia segera bekerja di jawatan Kempetai. Setelah Proklamasi Indonesia, ia masuk ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulan Desember 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Sepanjang Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling pada 1950, gerakan ini akan membunuh menteri pertahanan HB IX, kepala Staff TB Simatupang, dan Ali Budiardjo.
Parman menggagalkan aksi ini dan menangkap pelakunya. Setahun berikutnya, ia dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan di Associatian Military Company Offer.
Setelah kembali dari Amerika Serikat, ia menjadi Kepala Staff Umum AD. Lalu menjadi tenaga pengajar di pusat pendidikan AD.
Ia lalu ditugaskan di Kementerian Pertahanan. Pada September 1956, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Material Kementerian Pertahanan. Tugasnya dianggap bagus dan ia berpangkat kolonel saat itu. Berikutnya ia diangkat menjadi Atase Militer RI di London, Inggris pada 1959.
Tiga tahun berikutnya, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) hingga pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal pada Agustus 1964.
Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) inilah ia tiba-tiba disebut-sebut menjadi bagian dari Dewan Jenderal yang dituduh akan melakukan pengambilan kekuasaan. Tuduhan ini tidak pernah terbukti karena kemudian komplotan G 30 S mengambil tindakan semena-mena terhadap Jenderal Parman.
Ia diculik dari rumahnya dan dibawa ke lubang buaya pada dini hari 1 Oktober 1965. Ia kemudian ditembak mati oleh kaum penculik dan jenazahnya dibuang dalam sebuah sumur. Jenazahnya segera dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan pemerintah menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal anumerta.
Pada hari peringatan angkatan bersenjata tahun 1965, Parman segera diangkat menjadi pahlawan revolusi.
5. Mayor Jenderal Pandjaitan
- Lahir: Balige, Sumatera Utara, 19 Juni 1925
- meninggal: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 1 1 1/ KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Mayor Jenderal Korban G 30 S
“Malam 30 September 1965, subuh 1 Oktober kami mendengar suara truk-truk berhenti dan orang-orang mengepung rumah kami. Tanpa ada peringatan, mereka menembak dari segala penjuru, seperti hujan peluru.” Catherine Panjaitan anak Mayor Jenderal D.I. Panjaitan.
Mayor Donald Izacus Jenderal Panjaitan lahir di Sitorang, Balige, Tapanuli pada 10 Juni 1925. Ia mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA sezamannya. Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia memasuki pendidikan militer atau Gyugun dengan pangkat shoi (Letnan Dua) dan ditempatkan di Pekanbaru, Riau. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Pandjaitan bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia.
Paska proklamasi kemerdekaan, Panjaitan bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam pasukan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) tersebut, pertama kali ia ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi tahun 1948.
Karier militernya terus meningkat dengan pengangkatannya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra. Ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militer II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah kedaulatan Indonesia diakui Pemerintah Belanda, Panjaitan kemudian diangkat menjadi Kepala StafOperasiTentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindah tugas ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Dalam karier militernya tercatat dua kali Panjaitan mendapat pelatihan ke luar negeri. Pertama pada 1956, mengikuti kursus Militer Atase (Milat) di Jerman. Kedua, tahun 1962, ia menimba ilmu di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Sepulangnya ke tanah air, Panjaitan mendapat jabatan baru menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Pada tahun 1965 terjadi perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat (AD) hingga puncaknya terjadi penculikan terhadap petinggi AD. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan G 30 S. Pada tanggal 1 Oktober dini hari, truk militer mengangkut sepasukan Cakrabirawa berhenti di depan rumah Panjaitan.
Setelah menembaki, pasukan tersebut memasuki rumah dan meminta Panjaitan turun, saat itu ia dan keluarganya berkumpul di lantai atas. Menurut keterangan Riri Panjaitan (salah satu anak Mayor Jenderal D.I. Panjaitan saat peristiwa G 30 S baru berusia 8 tahun), yang menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, Mayjen Panjaitan turun dengan pakaian lengkap uniformnya sebagai angkatan darat.
Beberapa menit setelah Panjaitan turun, ia ditembak di teras lalu dibawa pergi. Beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di Lubang Buaya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965.
Karena pengabdiannya ia mendapat gelar pahlawan Revolusi.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
- Lahir: Kebumen, Jawa Tengah, 23 Agustus 1922
- meninggal: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOT1/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Gugur sebagai Pahlawan Revolusi
Pahlawan Revolusi Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 23 Agustus 1922. Ia menamatkan sekolah umum di Algemeene Middelbare School (AMS). Pada masa pendudukan Jepang mengikuti pelatihan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi Jakarta, lalu diterima menjadi pegawai negeri di kantor Kabupaten Purworejo namun mengundurkan diri dengan hormat pada tahun 1944.
Sesudah proklamasi 1945 ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian, yang kemudian berkembang menjadi Corps Polisi Militer (CPM). Pada Juni 1946 diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto yang ketika itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT).
Dari situ ia dipindah tugaskan ke Purworejo untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo. Jabatan lain yang pernah ditugaskan padanya dalam kurun 1945 hingga 1950 yakni Kepala Staf CPM Yogyakarta dan Komandan CPM Detasemen III Surakarta.
Empat tahun sesudah Indonesia mendapat kedaulatan penuh, Sutoyo naik pangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua tahun kemudian ia bertugas di London sebagai Asisten Atase Militer Republik Indonesia untuk Inggris.
Sekembalinya ke tanah air, ia mendapat Kursus C Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung sebelum diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan dan pengalaman yang luas di bidang hukum, pada 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD).
Di pertengahan tahun 1960-an, kondisi perpolitikan Indonesia memanas dikarenakan rencana pembentukan angkatan kelima dimana buruh tani bakal dilengkapi dengan senjata. Sutoyo adalah salah satu jenderal yang turut menolak kebijakan tersebut.
Hingga terjadi tragedi, tanggal 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00, rumahnya didatangi satu peleton pasukan Cakrabirawa pimpinan Serma Surono. Lalu dua orang pratu memasuki kamarnya dan mengatakan bahwa ia mendapat panggilan presiden.
Dengan kawalan, kemudian Sutoyo dibawa pergi. Beberapa hari kemudian ia ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa bersamaan dengan jenderal Angkatan Darat lain di Lubang Buaya. Peristiwa penculikan jenderal AD tersebut dikenang dengan G 3O S.
7. Kapten Pierre Tendean
- Lahir: Jakarta, 21 Februari 1939
- meninggal: Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 111/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Ajudan Setia
Pada 1962, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia mulai memanas. Operasi penyusupan yang merupakan bagian dari pelaksanaan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dilakukan oleh tentara Indonesia. Tendean segera mengajukan diri dalam operasi itu. Ia terlebih dulu mendapat pelatihan intelijen. Ia telah siap menyusup ke Malaysia.
Dengan wajah blasteran, ganteng, dan mirip bintang film Hollywood Robert Wagner, siapa yang akan menyangka ia seorang intelijen tentara Indonesia. Berulangkali ia menyusup hingga Singapura, mengumpulkan data dan melihat situasi musuh. Kariernya melesat, ia segera menjadi ajudan Nasution. Akan tetapi, hidupnya harus berakhir saat Gerakan 30 September salah menculik dan membunuhnya di Lubang Buaya.
Pierre Andreas Tendean merupakan putra laki-laki satusatunya dari DR. A.L Tendean yang berasal dari Minahasa dan ibunya seorang berdarah Prancis bernama Cornel ME. Ia yang sejak kecil memang suka dengan dunia militer, masuk Akademi Militer Jurusan Teknik [Atekad] di Bandung pada 1958. Di akademi Militer, Tendean merupakan taruna yang cakap dan berprestasi sehingga ia diangkat menjadi Komandan Batalyon Taruna dan Ketua Senat Korps Taruna. Sebagai kopral Taruna Atekad, ia langsung mendapat praktik lapangan. Ia dilibatkan dalam penumpasan gerakan PRRI di Sumatra pada 1958. Ia tamat akademi militer pada 1962. Lalu dilantik sebagai letnan dua dan menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2/DAM 11 di Medan.
Semenjak itu, ia memang lebih suka terjun langsung dalam operasi di lapangan. Ia dengan senang hati mengikuti pendidikan intelijen Angkatan Darat di Bogor pada 1963. Lalu segera diselundupkan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia hingga enam kali. Ia melakukan operasi intelijen hingga ke Singapura untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya demi perang yang akan segera dilancarkan. Ia selalu berhasil dengan baik.
Karena prestasinya itu, pangkatnya naik menjadi letnan satu, dan atas permintaan keluarga yang khawatir jika Tendean harus selalu berada di garis depan pertempuran maka Jenderal A.H. Nasution selaku Menko Hankam menariknya menjadi ajudan pada 15 April 1965. Tendean selalu menemani Nasution ke mana pun ia pergi. Jadilah ia seorang ajudan yang popular di belakang Nasution,
terutama di mata kaum perempuan. Setiap kali sang jenderal memberikan ceramah di kampus-kampus, selalu ada ungkapan di kalangan Mahasiswi, “Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannya”.
Dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok tentara yang tergabung dalam Gerakan 30 September datang ke rumah Nasution untuk menculik sang jenderal. Tendean yang saat itu sedang bertugas, berada di paviliun rumah. Ia segera keluar saat mendengar kegaduhan.
Saat itulah ia ditangkap gerombolan penculik. Mereka mengira Tendean adalah Nasution. Tendean segera diikat kedua tangannya dan dibawa dengan truk ke Lubang Buaya. Di basis gerombolan itu, sesungguhnya para penculik telah mengetahui bahwa Tendean bukanlah Nasution, tetapi tetap saja ia tidak dibebaskan.
Dengan tegar dan tanpa takut Tendean menghadapi maut. Empat buah peluru menembus tubuhnya dari belakang. Tampaknya ia dieksekusi dari belakang oleh gerombolan G 30 S. Ia dieksekusi paling akhir di antara para jenderal yang diculik. Tubuhnya juga yang paling akhir dimasukkan di sumur Lubang Buaya.
Pierre Andrean Tendean mati muda dalam usia 26 tahun. Jenazahnya segera dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan pangkatnya segera dinaikkan menjadi kapten anumerta. Atas jasa-jasanya kepada negara, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Revolusi di hari jadi tentara 5 Oktober 1965, empat hari selepas kematiannya.
8. Karel Satsuit Tubun
- Lahir: Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928
- meninggal: Jakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 114/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 5 Oktober 1965
Polisi Patriot
Subuh 1 Oktober 1965, aksi klandestin dilancarkan oleh kelompok “Gerakan 30 September”. Saat itu, Karel Satsuit Tubun sedang bertugas mengawal rumah kediaman Wakil Perdana Leimena yang berdekatan dengan rumah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Saat gerombolan tidak dikenal mendekat ke rumah Jenderal Nasution, beberapa di antara mereka juga memasuki rumah Leimena. Sebagai seorang pengawal, Tubun berusaha keras melawan gerombolan. Pergulatan terjadi, senjata Satsuit Tubun dirampas dan ia tertembak. Ia mati sebagai patriot yang mengamankan pimpinannya.
Karel Satsuit Tubun yang berasal dari Tual Maluku Tenggara menempuh pendidikan umum hanya sampai Sekolah Dasar dan tamat tahun 1941. Karena tertarik untuk mengabdikan diri di bidang Kepolisian, ia mengikuti pendidikan pada Sekolah Polisi Negara di Ambon pada 1951.
Ia kemudian dilantik menjadi agen Polisi Tingkat II dan ditugaskan dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon. Dari Ambon ia dipindahkan ke Jakarta dan ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara. Pada tahun 1955 ia dipindahkan ke Sumatra Utara. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke Sulawesi.
Pada waktu terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, Satsuit Tubun bertugas di Sumatra Barat selama enam bulan. Sesudah itu dipindahkan ke Dobo, Ia tetap berada di sana pada waktu Pemerintah Indonesia menjalankan politik konfrontasi terhadap Belanda dalam rangka membebaskan wilayah Irian Barat dari penjajahan Belanda. Tubun ikut berjuang dalam konfrontasi itu. Pangkatnya lalu dinaikkan menjadi Brigadir Polisi pada tahun 1963.
Dalam pangkat terakhir ini ia meninggal dunia akibat aksi “Gerakan 30 September, yang dilancarkan di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Hanya berselang 4 hari selepas kematiannya, pemerintah Indonesia menaikkan pangkatnya menjadi Ajun Inspektur Polisi (AIP) dan memberi gelar Pahlawan Revolusi pada Karel Satsuit Tubun.
9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
- Lahir: Sragen 5 Februari 1923
- meninggal: Yogyakarta 2 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 118/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 19 Oktober 1965
Jenderal anumerta dari Sragen
Aksi klandestin militer di Jakarta tahun 1965 membawa dampak buruk di Yogyakarta. Sore hari, 2 Oktober 1965, Kolonel Katamso baru saja pulang dari Magelang. Ia dipaksa menandatangani surat yang mendukung Dewan Revolusi oleh Mayor Mulyono.
Ia tidak langsung setuju, tetapi meminta rapat terlebih dahulu. Malangnya, ia langsung diculik dari rumahnya. Di bawah todongan senjata, Katamso dibawa ke kompleks Batalyon L di desa Kentungan Yogyakarta. Ia dianiaya dan dibunuh, lalu dimasukkan dalam sebuah sumur dan ditutup tanah.
Katamso yang berasal dari kota “bumi Sukowati”, ini menempuh pendidikan umum sampai tingkat Sekolah Menengah di kota kelahirannya. Lalu masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelahnya, ia diangkat menjadi Shodanco Peta di Solo.
Sesudah kemerdekaan Indonesia, ia menyumbang tenaga untuk mempertahankan kemerdekaan dengan masuk TKR. Awalnya ia diangkat sebagai Komandan Kompi di Klaten, kemudian Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV. Selama agresi Militer Belanda kedua, pasukan yang dipimpinnya sering kali terlibat dalam pertempuran melawan Belanda.
Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia, di Jawa Tengah timbul pemberontakan Batalyon 426. Katamso diserahi tugas menumpas pemberontakan tersebut dan berhasil. Saat muncul pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani.
Kemudian diserahi tugas sebagai Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro dan berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat. Dari situ ia dipindahkan menjadi Kepala Staf Resimen Riau Daratan Komando Daerah Militer (Kodam) III/ 17 Agustus.
Setelah keamanan di Sumatra pulih kembali, ia ditarik ke Jakarta dan bertugas pada Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap sebagai Komandan Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung. Pada tahun 1963 Katamso dipindahkan ke Jawa Tengah memangku jabatan Korem 072 Pamungkas di bawah Kodam VIII Diponegoro, berkedudukan di Yogyakarta. Ia membina Resimen Mahasiswa yang diberi latihan-latihan militer dan juga giat mengembangkan pendidikan.
Katamso akhirnya harus menjadi korban kekisruhan yang terjadi di Angkatan Darat. Semenjak ia diculik dan terbunuh, jenazahnya baru ditemukan pada 21 Oktober 1965. Kemudian, ia dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki (Kusumanegara) Yogyakarta. Sebelum dikebumikan, Presiden segera menaikkan pangkatnya menjadi Brigjend Anumerta dan memberi gelar Pahlawan Revolusi kepada Katamso.
10. Kolonel Sugiono
- Lahir: Gedaran, Gunungkidul, 12 Agustus 1926
- meninggal: Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965
- gelar: Pahlawan Revolusi
- dasar penetapan: Keppres No. 118/KOTI/1965
- tanggal penetapan: 19 Oktober 1965
Pejuang dari Gunung Kidul
Ia seorang perwira yang baik. Pada 1 Oktober 1965, masih dengan seragam tentara, ia baru kembali dari Pekalongan untuk urusan dinas. Ia sempat mampir ke Semarang terlebih dahulu dan merasakan suasana yang aneh. Ia belum mengetahui aksi klandestin Gerakan 30 September di ibu kota.
Ia hanya tahu bahwa di bulan-bulan September situasi memang sedang panas, di Ibu Kota muncul desas-desus adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Sebuah isu yang tidak jelas dan ia hanya perwira di daerah yang tidak tahu dengan urusan perwira tinggi Ibu kota. Ia segera kembali ke Yogyakarta, menuju ke rumah Katamso, lalu ke markas Korem. Itulah saat terakhirnya. Ia kemudian diculik dan terbunuh.
Sugiono Mangunwiyoto putra daerah Gunung Kidul, wilayah yang dianggap tandus dan kering di tenggara Yogyakarta. Ia anak kesebelas dari 14 bersaudara. Ayahnya, Kasan Sumittorejo seorang petani sekaligus Kepala Desa Gedaran. Awalnya ia bercita-cita menjadi guru hingga selepas sekolah dasar, ia masuk sekolah guru di Wonosari. Selepas lulus ia malah tidak sekalipun mengajar.
Kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pada 1942, mengubah keinginan Sugiono. Ia tertarik untuk terjun di dunia militer. Sugiono segera masuk pendidikan PETA (Pembela Tanah Air). Ia lulus dan diangkat menjadi Budanco (Komandan Peleton) di tanah asalnya, Wonosari.
Saat kemerdekaan tercapai, kemudian terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), Sugiono ikut bergabung. Awalnya ia bertugas sebagai Komandan Seksi dengan pangkat letnan dua, kemudian pada 1947 diangkat menjadi ajudan Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Soeharto.
Di masa krisis Agresi Militer 11 di Yogyakarta, Sugiono turut serta dalam aksi serangan umum yang dilancarkan pada 1 Maret 1949. Serbuan selama 6 jam yang mengubah sejarah dan pandangan kalangan barat terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Semenjak itu kariernya menanjak. Ia berganti-ganti daerah dinas. Pertama, ia masih di Yogyakarta menjadi Perwira Operasi Brigade C, lalu menjadi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo, diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang dengan pangkat kapten, lalu meningkat menjadi komandan Batalyon 441/Banteng Raiders III dengan pangkat Mayor.
Selepas itu, ia menjadi Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati dan terakhir menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel.
Ia menduduki pos barunya itu pada bulan Juni 1965. Beberapa bulan setelah mengemban tugas itu, situasi negara dalam keadaan krisis. Di pusat pemerintahan terjadi perseteruan antara ABRI di bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI yang kemudian merambat sampai ke daerah.
Bahkan di dalam internal Angkatan Darat sendiri muncul masalah internal, antara perwira muda dengan perwira senior yang ada di Jakarta. Dalam situasi seperti ini, Sugiono masih terlibat aktif dalam membina Resimen Mahasiswa dengan memberikan latihan-latihan militer. Resimen ini terdiri atas organisasi GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Saat meletus peristiwa 1 Oktober 1965, Dewan Revolusi segera dibentuk. Di daerah-daerah juga muncul Dewan Revolusi yang rata-rata dijalankan oleh beberapa perwira Angkatan Darat. Di Yogyakarta, pembentukan dewan ini disiarkan melalui RRI dan diketuai Mayor Muyono, Kepala Seksi Teritorial Korem 072/Yogyakarta.
Saat itu, Sugiono belum mengetahuinya Karena masih dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta. Akan tetapi, sesampainya di markas Korem, ia segera ditangkap oleh pasukan Dewan Revolusi. Ia dibawa menuju Kentungan Condongcatur, utara Yogyakarta.
Dini hari, pukul 02.00, pada 2 Oktober 1965, Sugiono dipukul hingga tewas. Jenazahnya kemudian dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Lokasi lubang ini baru ditemukan pemerintah tanggal 21 Oktober 1965. Esoknya, 22 Oktober 1965, jenazah perwira ini kemudian dibawa ke selatan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Pemerintah segera menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Kolonel dan mengangkatnya menjadi Pahlawan Revolusi.