Yang Membatalkan Puasa – Secara umum ada lima hal yang membatalkan puasa menurut kesepakatan para ulama, dan ada dua hal yang masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama hal tersebut membatalkan puasa atau tidak.
Berikut kita akan membahas hal-hal yang membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan (telah disepakati) oleh para ulama.
Makan dan Minum dengan sengaja
Makan dan minum menjadi hal yang membatalkan puasa jika itu dilakukan dengan sengaja. Adapun dalil yang menjelaskan mengenai hal ini yakni ada dalam surah Al-Baqarah ayat 187:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.”
Malam yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah waktu saat magrib telah tiba. Hal tersebut dikarenakan magrib merupakan waktu yang menandakan permulaan malam.
Adapun kalau seseorang makan atau minum dengan tidak sengaja, atau lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, maka hal tersebut tidaklah membatalkan puasanya, dan kita bisa meneruskan puasa yang kita lakukan.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.'” (Muttafaqun alaih. Hr. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155. dan ini adalah lafaz Muslim).
Muntah dengan Sengaja
Termasuk hal yang membatalkan puasa adalah jika muntah dengan sengaja, adapun kalau hal tersebut (muntah) terjadi karena tidak disengaja atau terpaksa maka hal itu tidak akan membatalkan puasa.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang dipaksa muntah (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho.” (HR. Abu Daud hadis no. 2380. Hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Muntah yang tidak disengaja ini seperti wanita hamil yang biasanya mengalami mual-mual sampai muntah (morning sickness) pada awal-awal tri semester. Meskipun sebenarnya tidak wajib untuk melaksanakan puasa, tetapi jika tetap mau mencoba berpuasa kemudian mengalami muntah, maka muntahnya tersebut tidaklah membatalkan puasa.
Namun jika puasa yang dia lakukan mempengaruhi kesehatan dan kehamilannya, maka hendaklanya dia tidak berpuasa. Baik itu dia mengalami muntah ketika berpuasa maupun tidak.
Sama halnya dengan kasus muntah pada saat hamil, muntah ketika dalam perjalanan, baik itu mabuk karena pesawat, kapal, mobil atau bus. Ataupun juga karena reaksi sihir dan jin pada orang tersebut yang mengakibatkan dia muntah pada saat proses ruqyah. Maka muntah tersebut termasuk dari muntah yang tidak akan membatalkan puasa.
Perlu diketahui, ketika terjadi reaksi mual dan terasa akan muntah tidak kemudian disengaja atau dipaksa muntah. Maka muntahnya yang alami ini tidak membatalkan puasa. Sementara jika terjadi reaksi mual dan akan muntah, seseorang malah memaksakan untuk sekalian dimuntahkan, maka ini yang membatalkan puasa.
Mengalami Haid atau Nifas Bagi Wanita
Bagi wanita yang mendapatkan nifas atau haid pada saat sedang melaksanakan ibadah puasa, maka ini termasuk hal yang membatalkan puasa. Kemudian wajib baginya untuk mengganti (mengqodho) dengan puasa di hari lain di luar Ramadhan.
“Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abd ibn Humaid telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari ‘Ashim dari Mu’aadzah dia berkata: ‘Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata: kenapa gerangan wanita yang haid mengqodho puasa dan tidak mengqdho shalat?
Maka Aisyah menjawab: apakah kamu dari golongan Haruriyah (Khawarij)?
Aku menjawab: Aku bukan Hururiyah, akan tetapi aku hanya bertanya.
Dia menjawab: Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.” (HR. Muslim)
Melakukan Jima’, Baik Keluar Mani Ataupun Tidak
Yang dimaksud jima’ adalah ad-dukhul (masuk). Yakni bertemu, masuknya atau penetrasi alat kelamin laki-laki ke dalam faji seorang perempuan.
Adapun pendahuluan jima’ seperti percumbuan, bermesraan, dan aktivitas stimulus lainnya tidak termasuk dalam istilah jima’ serta mempunyai pembahasan tersendiri. Aktivitas pendahuluan jima’ ini biasanya disebut sebagai al-mubasyarah (f0repl4y bersenang-senang).
Hal ini kami sebutkan dengan agar ‘terbuka’ karena hal ini mempunyai rincian pembahasan fiqh tersendiri dan juga supaya jelas apa yang dimaksud. Kami mohon maaf jika ada dan timbul suatu ketidaknyamanan dalam pemilihan kata pada poin pembahasan ini.
Dalil untuk pemahasan jima yang membatalkan puasa adalah:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari pada bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; karena mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187)
Ayat di atas menjelaskan diperbolehkannya jima ketika malam hari di bulan Ramadhan, serta haramnya melakukan jima pada waktu siang hari ketika sedang berpuasa.
Kemudian kafarat dari yang membatalkan puasa dan orang-orang yang terkena udzur boleh tidak puasa itu umumnya dengan mengganti dengan berpuasa pada hari lain, atau membayar fidyah. Maka untuk orang yang sengaja melakukan jima’ pada saat sedang berpuasa pada bulan Ramadhan, tebusan (kafaroh) dari kesalahan tersebut adalah di antara pilihan yang berurutan sebagai berikut:
- Membebaskan seorang budak, jika tidak mampu maka
- Berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka
- Memberi makan orang miskin sebanyak 60 orang.
Murtad Keluar Dari Agama Islam
Ketika ada orang berpuasa kemudian dia murtad, maka secara otomatis puasanya menjadi batal. Hal tersebut tentu saja karena semua amalannya akan terhapus disebabkan dia telah menjadi kafir.
Dalil menjelaskan bahwa yang membatalkan puasa adalah murtad yakni:
“Dan barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 5)
Itulah lima hal yang membatalkan puasa yang dimana para ulama telah sepakat dan tidak ada lagi perdebatan di dalamnya. Wallahu A’lam.
***
Nah, kemudian di bawah ini merupakan hal-hal yang membatalkan puasa yang masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, beberapa hal yang paling kuat dari hal yang terdapat perbedaan di dalamnya yakni:
Melakukan Bekam Ketika Sedang Berpuasa
Para ulama mempunyai perbedaan apakah ini termasuk termasuk yang membatalkan puasa atau tidak, hal ini disebabkan oleh dalil-dalil berikut:
“Diriwayatkan dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu (sampai kepada Nabi SAW). Beliau berkata, ‘orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya.'”
Hadis riwayat Bukhari, hadis ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Abu Ad Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 931 mengatakan bahwa hadis ini shohih.
“Anas bin Malik ra ditanya, ‘Apakah kalian menyukai berbekam bagi orang yang bepuasa?’ Beliau berkata, ‘tidak (tidak mengapa), kecuali jika bisa menyebabkan lemah.'” (Hr. Bukhari no. 1940)
Dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata:
“Rasulullah SAW telah memberikan rukhshoh (keringanan hukum) dalam masalah bekam bagi orang yang sedang berpuasa.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi. Dalam derajad hadis ini shohih lighoirihi sebagaimana dinyatakan syaikh al-Albani ra di dalam Irwa’ul Gholiil IV/74).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa bekam itu termasuk hal yang membatalkan puasa, seperti pendapat imam Ahmad, Ibnu Sirin, Atho bin Abi Robah, Al-Auza’i, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Taimiyah. Yang kemudian diikuti oleh Ibnu Qayyim dan juga Syaikh ibn Baz.
Sementara jumhur ulama mayoritas memiliki pendapat bahwa bekam itu tidak termasuk hal yang membatalkan puasa. Hal tersebut menurut pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Said Al-Khudri ra, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan beberapa yang lain.
Dari dua pendapat yang berbeda tersebut, kami condong untuk menguatkan pendapat kepada yang mengatakan bahwa bekam itu membatalkan puasa.
Mengeluarkan Mani Ketika Dalam Keadaan Sadar dengan Sengaja (Al-Inzal atau ejakulasi)
Mengeluarkan mani atau al-inzal dengan sengaja yang dimaksudkan disini adalah:
Usaha untuk mengeluarkan mani dengan tanpa jima’ atau ad-Dukhul, baik itu dengan cara istimna’ (onani dan masturbasi), mubasyarah (bercumbu dengan wanita) namun dengan tanpa dukhul (penetrasi) hingga mengeluarkan mani. Atau dengan melalui berbagai macam media dan teknik lainnya.
Al-inzal yang dimkasud disini adalah bukanlah yang di dalam farji wanita, namun al-inzal yang dikeluarkan di selainnya dengan tidak melakukan penetrasi ke farji wanita sama sekali.
Perlu untuk dipahami bahwasanya al-inzal itu hukumnya haram dan dosa dilakukan pada saat sedang berpuasa. Tetapi yang kita bahas disini meskipun hal tersebut haram dan dosa, tetapi apakah hal tersebut termasuk hal yang membatalkan puasa?
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ini termasuk hal yang membatalkan puasa atau tidak namun tetap saja wajib kita hindari, dan para ulama tentunya tidak pernah membenarkan perbuatan perbohong, mencuri, menipu dan sejenisnya. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa ini termasuk membatalkan puasa.
Hal-hal yang Diperbolehkan untuk Dilakukan Ketika Berpuasa
Kadang ada beberapa kebiasaan sehari-hari yang khawatir untuk dilakukan karena menganggap hal tersebut bisa jadi termasuk hal yang membatalkan puasa. Padahal kalau dilihat dari tinjauan fiqhi, hal tersebut sebenarnya tidaklah membatalkan puasa.
Hal-hal yang tidak membatalkan puasa itulah yang kadang memberatkan pelaksanaan ibadah puasa. Padahal salah satu hal yang perlu diingat bahwa puasa itu mudah pelaksanaannya, sebagaimana firman Allah yang membahas puasa dalam Qur’an surah Al-Baqarah:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghindari kesukaran bagimu…”
Oleh karena itu berikut ini kami bahas hal-hal yang kadang dianggap membatalkan puasa padahal sebetulnya diperbolehkan dilakukan ketika berpuasa.
Mencicipi makanan selama tidak masuk kerongkongan (tidak ditelan)
Ibnu Abbas ra mengatakan:
“Orang yang puasa boleh mencicipi cuka atau makanan lainnya selama tidak masuk kerongkongan. (Hr. Bukhari secara muallaq, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaiban dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat itu hasan).
Pelaksanaannya adalah seseorang yang mencicipi makanan hanya untuk merasakan rasanya, setelah itu meludahkannya agar tidak masuk ke kerongkongannya atau tertelan. Hal yang sejenis juga berlaku untuk hal-hal yang semisal, contohnya berkumur-kumur, bersiwak, sikat gigi, dan lain-lain.
Kaidah umum yang dapat dipetik dari hadis di atas adalah bahwa segala sesuatu yang masuk melalui jalan makan dengan sengaja, yakni dari mulut masuk ke kerongkongan dan kemudian menuju lambung, maka hal tersebutlah yang akan membatalkan puasa.
Sementara sesuatu yang masuk ke dalam tubuh tetapi bukan melewati jalan makan, maka itu tidak membatalkan puasa. Ini seperti contohnya tetes mata, obat luka luar, dan sebagainya yang sejenis. Itu semua tidak membatalkan puasa kecuali infus atau suntikan yang mengandung vitamin dan makanan, sebagaimana fatwa ulama.
Oleh karena itu kegiatan berkumur-kumur namun tidak masuk sampai ke kerongkongan palagi lambung maka hal tersebut bukanlah hal yang membatalkan puasa.
Sama halnya pada pemakaian inhaler, meskipun masuk melalui hidung menuju kerongkongan, namun akan berakhir di paru-paru melalui jalur pernapasan, bukan berakhir menuju lambung atau jalur pencernaan. Oleh karena itu tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa menurut pendapat para ulama yang rojih.
Memasukkan air ke dalam hidung pada saat berwudhu (instinsyaq)
Nabi SAW bersabda:
“Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke dalam hidung (istinsyak), kecuali jika kalian sedang berpuasa.” (Hr. Pemilik kitab sunan dengan sanad sahih).
Pada hadis tersebut Rasulullah SAW membolehkan istinsyak selama masih di hidung saja, dan tidak sampai ditelan. Sebab jika tertelan maka air tersebut dapat masuk ke kerongkongan dan berakhir di lambung (jalur pencernaan), meskipun pada awalnya dimasukkan melalui hidung.
Hal ini tidak sama jika dibandingkan dengan menghirup bau-bauan, termasuk juga inhaler, yang berakhir masuk ke paru-paru (jalur pernapasan).
Berkumur-kumur untuk berwudhu dan sejenisnya
Dari Jabir bin Abdillah, dari Umar bin Al-Khattab, beliau berkata:
“Pada suatu hari nafsuku bergejolak muncul, kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada nabi SAW dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal aku sedang berpuasa”
Rasulullah SAW bertanya, “bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?”Aku menjawab, “Sepertinya itu tidak mengapa.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (Hr. Ahmad 1/21. Syaikh Syuaib al Anauth mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih sesuai syarat Muslim).
Dari cerita di atas ada sebuah hal penting yang harus diketahui, bahwa bisa jadi ketika kita berkumur-kumur dan telah membuang air keluar secara jelas dan perasaan masih ada tersisa sedikit air yang menempel pada mulut, maka hal seperti itu insya Allah tidak mengapa jika tertelan, karena hal itu termasuk dalam hal yang tidak bisa dihindarkan, tidak disengaja, dan dimaafkan.
Dalil yang menjelaskan adalah disebabkan karena Rasulullah SAW tidak memberikan rincian kumur-kumur yang seperti apakah hingga airnya benar-benar keluar semua. Sedangkan menunda penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul fiqh.
Nabi SAW bersabda:
“Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dimaafkan, maka terimalah permaafan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa. Kemudian beliau membaca ayat, ‘dan tidaklah tuhanmu lupa.’ (Maryam: 64)” Hadis riwayat Al-Hakim, 2/375, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ghaayatul Maraam, hal 14).
Kaidah dan pemahaman di atas juga berlaku pada semua pembahasan pada tulisan ini. Oleh karena itu tidak perlu setelah berwudhu dan berkumur-kumur kita meludah berulang-ulang disebabkan khawatir masih ada air yang tersisa, lakukan sewajarnya saja.
Menelan dahak dan air liur
Menelan dahak atau air liar tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa, dalilnya adalah “ketiadaan dalil” yang mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
Ketiadaan dalil yang dimaksud disini adalah karena masalah ini adalah masalah ibadah, maka mengatakan bahwa sesuatu itu membatalkan puasa wajib ada dalilnya atau qiyas dengan menggunakan dalil.
Sementara kalau dipakai pemahaman bahasa, maka yang dimaksud makan dan minum itu adalah memasukkan benda asing dari luar tubuh ke dalam tubuh melalui mulut. Sementara dahak atau air liur bukanlah benda dari luar tubuh sehingga hal tersebut tidak dapat dinamakan makan atau minum, dan juga tidak dapat diqiyaskan dengan makan atau minum.
Lebih jauh lagi, menurut mahzab Hanafiyyah dan Malikiyyah, menelan dahak itu tidak membatalkan puasa karena dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar. (lihat al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan sahih fiqh sunnah, 2/117).
Bersiwak dan Menggosok Gigi
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW bersabda:
“Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) tiap kali berwudhu” (Hr. Bukhari)
Dari hadis di atas yang sifatnya berlaku umum, baik itu pada saat berpuasa maupun tidak berpuasa. Dan terlebih lagi Imam Bukhari meletakkan hadis tersebut dalam bab ‘Siwak basah dan kering bagi orang yang berpuasa’ dalam kitab Shohih beliau (Shohih Bukhari). Hal tersebut menandakan bahwasanya bersiwak itu tidak membatalkan puasa sesuai dengan keumumam dalil itu.
Hal yang mirip dengan aktivitas siwak adalah menggosok gigi. hal ini tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa.
Mandi dan yang semisal
“Nabi SAW pernah menyiram air ke atas kepala beliau pada saat sedang berpuasa, karena kehausan atau terlalu panas.” (Hr. Ahmad, Abu Daud dengan sanad bersambung dan sahih)
Ibnu Umar ra pernah membasahi pakaiannya dan beliau meletakkan di atas kepalanya ketika sedang berpuasa. (Riwayat Al-Bukhari secara muallaq)
Semisal dengan keterangan hadis di atas, maka kita boleh saja untuk berenang atau berendam air asalkan airnya tidak tertelan. Sementara kalau tidak mempunyai kemampuan yang meyakinkan untuk tidak menelan air pada saat berenang, maka tidak boleh berenang.
Bercelak, menggunakan tetas mata atau tetas telinga
Al-Bukhari menjelaskan dalam sahihnya:
“Anas bin malik, Hasan al Bashri, dan Ibrahim berpendapat bolehnya memakai celak.” (Sahih Bukhari, bab Bolehnya orang yang berpuasa mandi)
Sama halnya dengan kasus di atas, memakai tetas mata tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa. Apalagi secara medis, tetes mata yang dipakai ke mata tidak masuk hingga saluran pencernaan makanan. Secara alamiah akan mengeluarkan cairan pembersih mata untuk melawan berbagai macam benda asing yang masuk melalui mata.
Penjelasan yang sama juga berlaku untuk tetas telinga.
Memakai pelembab bibir atau lipstik
Menggunakan lipstik atau pelembab bibir tidak termasuk hal yang membatalkan puasa, hal tersebut dikarenakan lipstik atau pelembab bibir hanya berada di bibir dan sekitarnya saja, dan jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan berkumur-kumur pada saat berwudhu.
Memasukkan obat melalui dubur atau jalan kencing atau kemaluan
Hal ini tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa sebab tidak ada jalur dari situ untuk berbalik menuju tempat pencernaan yang kemudian akan mengalami atau melewati proses pencernaan.
Oleh karena itu menggunakan obat sembelit untuk melancarkan BAB melalui dubur atau hal-hal yang semisal tidaklah termasuk hal yang membatalkan puasa seseorang. Wallahualam.