Kerajaan Islam di Indonesia mulai ada pada abad ke-13. Pada waktu itu Kerajaan Sriwijaya sedang mengalami masa kemunduran. Di kawasan pesisir pantai Sumatera sudah berdiri beberapa kerajaan Islam. Berita ini diketahui dari catatan harian Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera.
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia dimulai di kawasan Selat Malaka yang diawali dengan munculnya Kerajaan Perlak kemudian berkembang dan mendorong kerajaan kerajaan Islam di Indonesia lainnya, seperti kerajaan Samudra Pasai, dan Kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh tumbuh pesat setelah Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Sementara di Pulau Jawa muncul kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di Indonesia yang pertama di kawasan Pulau Jawa dengan raja pertamanya R. Patah (1500 -1518).
Pusat kekuasaan Kerajaan Islam di Indonesia juga berkembang ke pedalaman dengan munculnya kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam merupakan rangkaian dari eksistensi kerajaan Demak.
Jika dirunut dari masa Kerajaan Demak, maka akan menjadi sebagai berikut. Diawali dengan Kerajaan Demak, kemudian berpindah ke pedalaman menjadi Kerajaan pajang, dan menjadi Kerajaan Mataram Islam di Mataram. Selain Kerajaan Mataram, di Jawa juga berkembang kerajaan Islam di Indonesia lainnya, seperti kerajaan Banten dan Cirebon.
Penyebaran agama Islam di Nusantara berasal dari beberapa bangsa, yaitu Arab, Persia dan Gujarat. Berikut ini penjelasan sejarah beberapa kerajaan Islam di Indonesia.
Kerajaan Islam di Indonesia Pertama: Kerajaan Perlak
Berdasarkan seminar sejarah Islam di Medan pada tahun 1963, seminar sejarah Islam di Banda Aceh pada tahun 1978, dan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Banda Aceh mengukuhkan bahwa kerajaan islam di Indonesia yang pertama adalah kerajaan Perlak.
Sumber sejarah Kerajaan Perlak
1. Naskah Berbahasa Melayu
Yang termasuk dalam bukti Kerajaan Islam di Indonesia pertama ini, Perlak adalah sebagai berikut.
- Idharatul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy.
- Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan as Salathin karangan Syekh Syamsul Bahri Abullah As Asyi.
- Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai yang merupakan catatan dari Saiyid Abdullah Ibn Saiyd Habib Saifuddin.
Ketiga naskah tua tersebut mencatat bahwa kerajaan Islam di indonesia yang pertama adalah Kerajaan Islam Perlak. Ishak Makarani Al fasy menyebutkan bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah yang semula bernama Saiyid Abdul Aziz.
Bukti Peninggalan Kerajaan Perlak
1. Mata uang perlak
Mata uang kerajaan Perlak merupakan mata uang tertua di Nusantara. Mata uang perlak terdiri dari tiga jenis, yakni terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan
2. Stempel kerajaan
Stempel tersebut bertuliskan huruf Arab yang berbentuk kalimat Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Snah 512. Kerajaan Negeri Bendahara adalah bagian dari kerajaan Perlak.
3. Makam Raja Benoa
Merupakan makam dari salah seorang raja Benoa di tepi Sungai Trenggulona yang pada batu nisannya bertuliskan huruf Arab. Berdasarkan penelitian Dr. Hassan Ambari, nisan tersebut dibuat sekitar abad ke-4 H atau abad ke-11 M. Menurut Idharul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal fasi, Benoa adalah negara bagian dari kerajaan Perlak.
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan Islam di Indonesia yang muncul menggantikan Kerajaan Perlak yang semakin mengalami kemunduran. Kemunduran Kerajaan Perlak terjadi karena ketidakstabilan pemerintahan akibat persaingan antar anggota keluarga kerajaan sehingga para pedagang banyak mengarahkan kegiatannya ke tempat lain, yakni ke Pasai.
Seorang penguasa lokal di daerah Samudera bernama Marah Silu (Meurah Silu) dibantu oleh Syekh Ismail (seorang syarif dari Mekkah) berhasil mempersatukan daerah Samudera dan Pasai. Kedua daerah tersebut kemudian dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai.
Kehidupan politik Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Kabupaten Lhoukseumawe, Aceh Utara dengan raja pertama Marah Silu yang bergelar Sultan Malik Al-Saleh (1285 – 1297 M). Malik Al-Saleh memperistri putri penguasa Perlak sebagai permaisuri, yaitu Putri Ganggang Sari (Putri Raihani).
Pada masa pemerintahan Malik Al-Saleh, datang seorang Musafir dari Venesia bernama Marco Polo yang menceritakan perkembangan Islam serta perdagangan di Perlak dan Samudra Pasai. Selanjutnya tahun 1297, Sultan Malik al Saleh meninggal dunia yang dibuktikan dengan batu nisan di Sungai Pasai berangka tahun 675 H atau 1297 M.
Pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia kedua ini, Samudra Pasai dilanjutkan oleh putranya bernama Sultan Muhammad Malik al Tahir (Sulta Malik al Tahir) yang memerintah tahun 1297 – 1326. Pada masa ini Perlak dipersatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai. Setelah Sultan Malik al Tahir wafat, ia digantikan oleh Sultan Ahmad yang juga bergelar Malik al Tahur (Malik al Tahir II).
Pada masa pemerintahan Malik al Tahir II (1326 – 1348), Samudra Pasai berkembang pesat. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab terus dikembangkan. Pada masa itu, sultan merupakan penguasa tertinggi yang juga seorang ulama yang dibantu patih yang bergelar amir.
Pengganti Sultan Malik al Tahir II adalah Sultan Zainal Abidin (Sultan Malik al tahir III) yang memerintah sekitar tahun 1350. Akhir dari pemerintahannya tidak begitu jelas. Dalam sejarah Melayu diceritakan bahwa Kerajaan Samudra Pasai diserang oleh tentara Majapahit, akan tetapi Samudra Pasai mendapat bantuan dari Laksamana Cheng Ho dari China pada tahun 1405.
Laksamana Cheng Ho adalah utusan Kaisar China untuk menjalin persahabatan dengan Sultan Samudra Pasai. Namun kemerdekaan Kerajaan Samudra Pasai terenggut setelah pada tahun 1521, Samudra Pasai diakuasai oleh Portugis.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Samudra Pasai
Dalam bidang ekonomi Kerajaan Samudra Pasai digambarkan bahwa pada pemerintahan Malik al Tahir II, Samudra Pasai menjadi pelabuhan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari India (Gujarat), Arab, Persia, dan China.
Ibnu Batutah seorang utusan Sultan Delhi yang singgah di Samudra Pasai dalam perjalanan ke China pada tahun 1345, menceritakan bahwa perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan bertambah maju. Sultan mempunyai angkatan laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman berdagang di Samudra Pasai.
Komoditas yang paling utama di Samudra Pasai antara lain berupa lada, kapur barus, dan emas.
Kehidupan sosial budaya Kerajaan Samudra Pasai
Kehidupan sosial budaya di Kerajaan Samudra Pasai diatur dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Sedangkan hasil kebudayaan secara fisik tidak banyak yang ditemukan.
Bentuk bangunan yang cukup terkenal di Samudra Pasai misalnya batu nisan Sultan Malik al Saleh dan Jirat dari putri Pasai yang bertuliskan huruf Arab dalam bentuk kaligrafi yang sangat indah
Kerajaan Malaka
Meskipun letaknya bukan di wilayah Indonesia (di Malaysia), tetapi kerajaan ini sangat penting artinya bagi perkembangan Islam di Indonesia karena pada dasarnya masyarakat Malaysia dengan masyarakat Sumatera mempunyai banyak persamaan sejarah dan kebudayaan, sehingga dia dimasukkan ke dalam bagian sejarah kerajaan Islam di Indonesia.
Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai diikuti dengan perkembangan Malaka sebagai pelabuhan, pusat perdagangan, dan pusat penyebaran agama Islam yang sangat penting di Asia Tenggara.
Pada masa itu, datanglah seorang pangeran yang bernama Paramisora (Parameswara) dari Blambangan, Jawa Timur yang melarikan diri karena Blambangan diserang tentara Majapahit.
Setelah bertemu dengan Sidi Abdul Azis dan menyatakan diri masuk Islam, Paramisora dipercaya menjadi pemimpin dan berhasil membangun kerajaan Malaka.
Kehidupan politik Kerajaan Malaka
Paramisora bergelar Sultan Iskandar Syah. Setelah beliau mangkat pada tahun 14 14, ia digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad Iskandar Syah atau Megat Iskandar Syah (1414 – 1424). Ia mnejalin hubungan dengan Cina dan Samudra Pasai.
Hubungan dengan Samudra Pasai semakin Erat sebab Sultan Muhammad Iskandar Syah menikah dengan putri kerajaan tersebut. Setelah pemerintahan Muhammad Iskandar Syah berakhir, pemerintahan dilanjutkan oleh raja Kasim yang bergelar Sultan Mudhafar Syah (1424 – 1458)
Raja Kasim berhasil menguasai Pahang dan Indragiri. Kedudukan Malaka semakin kuat dan strategis sehingga berhasil menggeser kedudukan Samudra Pasai.
Pengganti Sultan Mudhafar Syah adalah putranya yang bernama Sultan Mansyur Syah (1458 – 1477). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Malaka mencapai zaman kejayaan. Ia berhasil menguasai Semenanjung Malaka, Sumatera Tengah, Indragiri, Rokan dan Kepulauan Riau. Pada saat itu angkatan laut Kerajaan Malaka sangat kuat di bawah pimpinan Laksamana Hang Tuah sehingga Malaka tampil sebagai kerajaan maritim yang sangat tangguh saat itu.
Kerajaan Malaka mengembangkan pemerintahan yang cukup teratur dengan sultan sebagai penguasa tertinggi atau duli (yang dipertuan). Di bawah sultan ada patih yang disebut Paduka Raja (Sri Nara Diraja) yang membawahi pejabat-pejabat, seperti bendahara, laksamana, tumenggung atau bupati, dan syahbandar.
Setelah pemerintahan Sultan Masyur Syah berakhir, pemerintah digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (1477 – 1488). Setelah itu dipegang oleh Sultan Mahmud Syah (1488 – 1511). Kerajaan Malaka pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Syah ternyata mengalami kemunduran dan kebesaran Kerajaan Malaka semakin lama semakin surut.
Keadaan itu kemudian diperburuk oleh kedatangan tentara Portugis ke Bandar Malaka. Semula kedatangan Portugis hanya berdagang rempah, tetapi kemudian ingin menguasai kerajaan Malaka.
Pada tahun 1511, Portugis dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque berhasil menduduki Kerajaan Malaka. Jatuhnya kekuasaan Islam di Malaka mengakibatkan pedagang Islam menyingkir dan menyebar ke berbagai daerah. Pedagang Islam megalihkan kegiatan perdagangannya di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan ada yang sampai ke Filipina Selatan.
Kehidupan ekonomi Kerajaan Malaka
Dalam bidang ekonomi Kerajaan Malaka, dapat dilihat pada catatan Ma Huan sewaktu berkunjung ke Kerajaan Malaka. Ma Huan menuliskan dalam bukunya yang berjudul The Mao Kun Map mengenai kebudayaan, agama dan kebiasaan mereka.
Ketika itu Kerajaan Malaka belum ramai dan penduduknya lebih memilih kegiatan perdagangan daripada pertanian karena pertanian kurang subur. Letaknya yang strategis mendorong Kerajaan Malaka cepat berkembang sebagai bandar dan pelabuhan internasional. Banyak pedagang dari luar, di antaranya dari Persia, India, Asia Tenggara, dan China masuk berdagang atau sekadar singgah di Kerajaan Malaka.
Dinamika perdagangan di Kerajaan Malaka dipengaruhi oleh para pedagang dari Jawa Timur yang membawa rempah-rempah dari Maluku dan beras dari Pulau Jawa.
Di Kerajaan Malaka mereka melakukan transaksi dengan para pedagang dari Gujarat (India) dan Persia yang membawa beraneka ragam kain sutra dan keramik. Dengan perdagangan yang sangat majemuk tersebut, Kerajaan Malaka menjadi tempat perdagangan yang maju dan makmur.
Dalam bidang perdagangan, seorang sultan Malaka memiliki hal istimewa, yakni hak untuk membeli pertama dan hak menjual pertama.
Kehidupan sosial budaya Kerajaan Malaka
Dalam segi sosial budaya Kerajaan Malaka, kehidupan sehari-hari raja, pejabat, maupun rakyat umum diatur dengan suatu undang-undang. Undang-undang tersbeut dirumuskan berdasarkan adat istiadat Melayu.
Isi undang-undang yang dikembangkan waktu itu antara lain pemakaian payung untuk raja, peraturan menghadap raja, upacara pemberian gelar, dan upacara hari raya. Sementara karya sastra yang terkenal di antaranya adalah Sejarah Melayu dan Hikayat Amir Hamzah.
Kerajaan Aceh
Setelah jatuhnya Kerajaan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat perdagangan Islam kembali ke wilayah Aceh. Awalnya Aceh dikuasai Kerajaan Pedir, namun setelah Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis, banyak pedagang Islam dari Malaka yang pindah ke Aceh. Dari sebab inilah terbentuk kerajaan Islam di Indonesia selanjutnya yang dikenal dengan Kerajaan Aceh
Bahkan kapal-kapal dari Asia Selatan tidak lagi singgah di Malaka karena pemerintah Portugis di Malaka menjalankan monopoli dana memungut bea pajak dan cukai yang cukup tinggi.
Kehidupan politik Kerajaan Aceh
Pada masa itu, Aceh mampu menghimpun kekuatan dan mendapatkan kemerdekaan dari Pedir. Raja pertama Kerajaan Aceh adalah Raja Ibrahim yang bergelar Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1528). Sebagai negara yang mandiri, Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang berkembang pesat.
Pada tahun 1515 dan 1529, Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka dengan bantuan dari Kerajaan Demak, akan tetapi tidak berhasil. Hal tersebut diakibatkan oleh armada Kerajaan Aceh waktu belum kuat.
Pada tahun 1528, Sultan Ali Mughayat Syah meninggal, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Salahuddin (1528 – 1537) yang kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1537 – 1568). Ia berusaha mengembangkan kerajaannya dan menduduki Sumatra sebelah barat sampai Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatra bagian timur sampai Danau Toba.
Pada pertengahan abad ke-16, Kerajaan Aceh menduduki daerah-daerah di Semenanjung Malaka. Karena kegagahan dan keberhasilannya menguasai wilayah-wilayah yang luas, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah diberi gelar Al Qahhar yang berarti gagah perkasa.
Tahun 1568 dengan bantuan Turki, Kerajaan Aceh melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka namun belum membuahkan hasil. Selanjutnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh putranya Sultan Husin (1568 – 1575).
Raja selanjutnya berturut-turut adalah Sultan Alauddin Mansyur Syah (1577 – 1586), Raja Buyung (1586 – 1588) dan Sidi Al Mukamil (1588 – 1604). Sultan Sidi Al Mukamil dikenal dengan sultan yang sangat alim dan halus budi bahasanya. Selain itu, pada masa pemerintahannya hidup seorang laksamana dan pahlawan wanita, yakni Laksamana Malahayati.
Usia Sultan Sidi Al Mukamil yang sudah tua menyebabkan beliau menyerahkan tahta Kerajaan Aceh kepada putranya yang bernama Sultan Kuasa Muda yang bergelar Sultan Ali Ri’ayat Syah (1604 – 1607). Pada masa itu semangat untuk melawan kekuasaan Portugis di Malaka menyala dan terus berkobar. Tahun 1585, Portugis akhirnya merang Kerajaan Aceh dipimpin oleh Jorge Tumodo Homes dan Don Joao Ribeiro Gaio tetapi gagal.
Tahun 1607, Sultan Ali Ri’Ayat Syah digantikan Darmawangsa Tun Pangkat yang bergelar Sultan Iskandar Muda dan memerintah tahun 1607 – 1636. Iskandar Muda menjadikan Kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya dan memperluas wilayah kekuasaan hingga ke Johor, Perlak, Pahang, Bintan, Nias dan Deli.
Tahun 1629, Kerajaan Aceh di bwa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mencoba kembali menyerang Malaka. Sebanyak dua kali, Kerajaan Aceh mendapat bantuan dari Kesultanan Demak (Pangeran Sabrang Lor tahun 1512; Ratu Kalinyamar tahun 1550 dan 1574), tetapi sayangnya serangan ini juga tidak berhasil.
Sebagai seorang Sultan di Kerajaan Aceh yang besar, Sultan Iskandar Muda mempunyai tiga cita-cita besar untuk kemajuan Kerajaan Aceh.
- Beliau ingin membesarkan kerajaan Aceh
- Beliau ingin menyebarkan Agama Islam di mana-mana
- Beliau ingin mengusir bangsa Portugis dari Malaka.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh
Dalam bidang Ekonomi, Kerajaan Aceh sangat beruntung karena letaknya sebagai pusat perdagangan Internasional dan kekayaan alamnya sebagai penghasil lada yang cukup besar. Misalnya Aceh,Perlak, dan sekitarnya sebagai penghasil lada yang cukup beras, kemenyang; Pahang sebagai penghasil timah; Minangkabau sebagai penghasil emas dan perak; serta Maluku sebagai penghasil rempah-rempah.
Aceh mengimpor porselen dan sutra dari China, kain dari India, dan minyak wangi dari Timur Tengah. Dengan adanya kegiatan ekspor dan inpor, maka perekonomian di Aceh terus mengalami perkembangan.
Kehidupan sosial budaya Kerajaan Aceh
Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat Kerajaan Aceh mengenal tiga golongan masyarakat. Sultan dan keluarganya adalah golongan atas yang di bawahnya terdapat golongan bangsawan, pejabat tinggi pemerintah pusat maupun daerah serta para uleebalang.
Pada umumnya, mereka memakai gelar teuku. Sementara para bangsawan di darah-daerah pantai timur biasa memakai gelar tengku karena mendapat pengaruh dari Melayu. Kemudian di bawah kaum bangsawan adalah golongan rakyat kebanyakan.
Corak kehidupan masyarakat Kerajaan Aceh sangat kental dengan adat istiadat dan agama Islam sehingga para ulama berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bidang filsafah, agama, dan sastra Aceh, muncul beberapa ulama besar yang terkenal zaman itu seperti Hamzah Fansuri. Ia menulis buku-buku tentang filsafah agama Islam dan syair-syair keagamaan, serta mengajarkan ilmu tasawuf yang dipengaruhi oleh ulama-ulama besar dari Iran.
Muridnya yang turut mengajarkan ajaran-ajarannya misalnya Syamsuddin Pasai. Selain itu, terdapat seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar Raniri yang merupakan pengarang buku Bustanus Salatin (Taman Raja-Raja) buku ini berisi tentang ajaran-ajaran keagamaan, kesusilaan, dan sejarah. Nuruddin Ar Raniri juga membentangkan adat istiadat suku-suku Aceh dan ajaran-ajaran agama Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Kemunduran Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh dimulai saat Iskandar Muda digantikan oleh menantunya yang bernama Iskandar Thani (1636 – 1641). Tahun 1641, Iskandar Thani digantikan oleh permaisurinya (putri Iskandar Muda). Permaisuri dan pengganti-penggantinya kurang cakap dalam menghadapi kelicikan VOC yang telah merebut Malaka (1641).
Pada tahun 1681, Aceh terpaksa mengadakan hubungan dengan VOC. Sejak saat itu Kerajaan Aceh semakin dipersempit oleh VOC.
*Kerajaan Islam di Indonesia yang akan dibahas selanjutnya:
Kesultanan Demak
Kerajaan Pajang
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Islam Cirebon
Kerajaan Islam Banten
Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo)
Kerajaan Ternate dan Tidore
Kerajaan Banjar
***
Pengaruh perkembangan agama Islam di Indonesia telah mendorong berdirinya kerajaan kerajaan Islam di Indonesia. Perlak diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 M.
Bukti yang mendukung adalah mata uang emas (dirham) berangka tahun 501-527 H dan mata unag perak tang tertulis Dhuribat Nursyidam yang diperkirakan menunjuk pada putri mahkota Sultan Makhdun Alaudin Abdul Jalil Syah Jouhan Berdaulat yang memerintah Kerajaan Perlak tahun 1119 – 1225.
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia juga meliputi kawasan bagian timur Indonesia, seperti Kalimantan (Kerajaan Banjar), Makassar (Gowa dan Tallo), dan Maluku (Ternate dan Tidore).
Dengan semakin luasnya perkembangan kerajaan Islam di Indonesia, juga berpengaruh luas dalam berbagai sistem sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian dengan warna-warna Islam. Pengaruh Islam dalam kerajaan-kerajaan di Indonesia dapat dilihat dari penerapan sistem dan nilai-nilai Islam dalam kerajaan.
Walaupun demikian, dalam konsep kekuasaan di kerajaan Islam di Indonesia tidak menghilangkan begitu saja sistem politik yang telah berkembang pada masa sebelumnya (Hindu-Budha). (Baca juga: Sejarah Kerajaan Sriwijaya)
Setelah mempelajari uraian berbagai kerajaan Islam di Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa kemunduran kerajaan Islam di Indonesia banyak disebabkan oleh konflik interanal dan nafsu hegemoni bangsa-bangsa barat ke Nusantara.
Pada akhir periode kerajaan Islam di Indonesia menandai semakin tegasnya kolonialisme dan imperialisme bangsa barat di Indonesia.